Harga Acuan Kedelai Tak Selesaikan Masalah



Untuk menstabilkan harga kedelai, pemerintah lewat Bulog akan menetapkan harga acuan yakni Rp 7000 per kilogram (kg). Hitungan petani, harga acuan itu cukup bagi mereka meraih untung. Pasalnya, biaya untuk menghasilkan kedelai per kilogramnya rata-rata hanya Rp 4.500.Sutono, petani kedelai di Bantul yang memiliki lahan kedelai satu hektare menceritakan, biaya sewa lahan sekitar Rp 20 juta per tahun atau Rp 1,67 juta per bulan. Biaya tersebut untuk bibit 50 kg Rp 450.000. Lalu, Sutono juga harus mengeluarkan biaya untuk pupuk seperti pupuk Urea, SPF dan KCL sebesar Rp 1 juta.

Supaya tidak terserang hama, Sutono harus membeli pestisida. Untuk satu hektare lahannya, ia membutuhkan 5 kg pestisida sekitar 300.000. Sutono juga harus menggaji tiga orang karyawannya sebesar Rp 2.700.000. Belum lagi dengan biaya transportasi mencapai Rp 450.000.

Setiap periode menanam, untuk biaya operasional kedelai, Sutono mengeluarkan duit Rp 6,5 juta. Dengan produktivitas kedelainya 1,4 ton per hektare, ini berarti biaya produksi Sutono sekitar Rp 4.600 per kg. Mengacu pada harga Bulog, Sutono mendapatkan margin keuntungan Rp 2.400 per kg.


Bagi petani, jika harga acuan tersebut diterapkan petani bisa senang. Selama ini, kedelai mereka hanya dibeli di level harga Rp 5.000 hingga Rp 5.500 per kg.

Namun, ia sanksi harga acuan itu bisa diterapkan. Pasalnya, Sutono bilang, kualitas kedelai mereka kurang bagus. Kadar air produksi kedelainya, umpamanya, tak sesuai standar Bulog. "Saya tidak berpeluang bisa mendapatkan harga Rp 7.000 per kg sesuai harga acuan," kata dia.

Selama ini, dalam praktiknya, petani tak dilindungi Pemerintah. Kedelai dibiarkan di pasar bebas sehingga banyak tengkulak dan pengepul yang menekan harga petani. Jarang, petani langsung berhubungan dengan pengrajin tahu tempe.

Sutono menceritakan, kedelainya pernah dibeli dengan harga Rp 4.000 per kg. Mau tidak mau ia harus menerima harga tersebut karena ia sudah mengeluarkan ongkos produksi. "Rugi tapi daripada tidak laku," katanya.

Tak hanya itu, petani juga cemas dengan cuaca. Seperti yang terjadi saat ini, curah hujan yang tinggi membuatnya khawatir panen kedelai akan gagal tahun ini. "Bukannya untuk malah buntung menanam kedelai," katanya.

Kedelai membutuhkan kelembapan yang rendah dan waktu penyinaran matahari lebih 12 jam. Hujan membuat kedelai tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup. Dampak dari kelembapan yang tinggi adalah hama. Sedangkan minimnya sinar matahari membuat produktivitas kedelai rendah.Pemerintah sendiri mengaku masih menganaktirikan kedelai. Petani lebih memilih untuk menanam padi dan jagung karena margin keuntungan yang sudah pasti.

Udhoro Kasih Anggoro, Dirjen Tanaman Pangan, Kementrian Pertanian mengakui kombinasi tingginya biaya produksi dan harga jual yang tidak kompetitif membuat petani meninggalkan kedelai.

Padahal banyak yang bisa dilakukan oleh petani untuk menaikkan produktivitas petani. Misalnya, pemerintah bisa membantu permodalan sehingga ongkos petani bisa ditekan. Biaya permodalan ini bisa berupa pembagian bibit unggul secara gratis.

Hal ini diamini oleh Sutono yang membutuhkan sarana dan prasarana seperti pompa air dan traktor. Jika curah hujan tinggi seperti ini, petani juga membutuhkan mesin pengering kedelai.

Krisis kedelai yang terjadi di tanah air, sepertinya tidak serta merta terpecahkan dengan terbitnya harga acuan oleh Kementrian Perdagangan. Pola budidaya petani kedelai yang dilakukan oleh petani harus diperbaiki. Kemudian, pemerintah juga harus menambah areal lahan. (selesai)

Selama pemerintah tidak menambah lahan baru, jangan berharap bahwa produksi kedelai akan meningkat. Target produksi kedelai sebesar 1,5 juta ton pada tahun ini tampaknya baru sekadar mimpi. Tahun lalu, produksi kedelai nasional cuma 850.000 ton

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Fitri Arifenie