Harga acuan logam berpotensi poles emiten tambang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aturan baru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang harga mineral acuan logam bulan Oktober 2017 diperkirakan bisa mendorong kinerja emiten tambang. Namun, sentimen negatif bisa datang dari fluktuasi harga komoditas di pasar.

Pada 4 Oktober lalu, Kementerian ESDM merilis Keputusan Menteri ESDM No. 3612k/32/MEM/2017 tentang Harga Mineral Acuan Logam untuk Bulan Oktober 2017. Dalam peraturan tersebut, pemerintah mengatur harga patokan beberapa komoditas logam seperti nikel, tembaga, dan emas. Nantinya, harga acuan logam ini akan diubah setiap bulannya layaknya harga acuan batubara yang sebelumnya sudah diterapkan oleh pemerintah.

Harga-harga patokan itu tak asal dibuat oleh pemerintah. Kementerian ESDM mendasarkan harga acuan bulan Oktober tahun ini berdasarkan harga komoditas tersebut di pasar internasional seperti London Metal Exchange (LME), London Bullion Market Association, Asian Metal dan juga harga di Indonesian Commodity & Derivatives Exchange (ICDX).


Adapun dalam peraturan tersebut, beberapa harga acuan komoditas logam ditetapkan lebih tinggi dibanding harga yang ada di pasar. Dalam peraturan tersebut, harga nikel ditetapkan sebesar US$ 11.582,38 per metrik ton. Harga ini lebih tinggi dibanding harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di LME pada Jumat (6/10) lalu sebesar US$ 10.600 per metrik ton.

Harga patokan tembaga untuk Oktober yang ditetapkan juga lebih tinggi US$ 2,95 dibanding harga di pasar. Pemerintah menetapkan harga tembaga sebesar US$ 6.668,95 per metrik ton, sementara harga tembaga di LME untuk pengiriman tiga bulan dihargai US$ 6.666,50 per metrik ton.

Harga emas di beleid tersebut pun ditetapkan sebesar US$ 1.361,71 per metrik ton, lebih tinggi dibanding harga emas kontrak pengiriman Desember di Commodity Exchange senilai US$ 1.285,10 per metrik ton.

Dikeluarkannya peraturan ini, menurut Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee, bisa memberikan dorongan bagi para emiten tambang seperti PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT J Resources Asia Pasifik Tbk PSAB), dan juga PT Vale Indonesia Tbk (INCO).

"Kalau melihat pada harga acuan batubara, biasanya harga patokan yang ditetapkan pemerintah lebih tinggi dibanding harga di pasar internasional. Dengan begitu, seharusnya peraturan ini bisa memberikan sentimen positif ke emiten tambang," ujar Hans kepada KONTAN, Senin (9/10).

Namun, karena harga acuan tersebut didasarkan pada harga logam di pasar internasional, fluktuasi harga komoditas di pasar masih tetap jadi ancaman bagi para emiten tambang. Fluktuasi harga pasar tersebut bisa tidak terlalu berpengaruh pada emiten tambang jika pemerintah menetapkan harga batas atas dan batas bawah untuk logam.

Hans melihat, jika pemerintah menetapkan harga batasan tersebut, baik konsumen maupun produsen barang tambang logam bisa tetap terlindungi sehingga kinerja mereka tetap terjaga.

"Jika pemerintah menetapkan harga batas bawah, emiten tambang logam jadi terlindungi karena tidak terpengaruh dengan harga penjualan yang rendah. Sedangkan jika pemerintah menetapkan harga batas atas, yang dilindungi ialah konsumennya karena tidak perlu membayar harga yang mahal," papar Hans.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini