Harga acuan tidak menjamin harga mineral terangkat



JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menerapkan Peraturan Menteri No. 7/2017 tentang Harga Patokan Mineral (HPM) mulai Agustus 2017. Beleid ini agar Indonesia sebagai penghasil mineral memiliki harga acuan sendiri.

Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono menyebutkan, sebelum menerapkan HPM, pada bulan Juli ini pihaknya masih menunggu respons dari para pengusaha mineral.

"InsyaAllah penerapannya bulan Agustus. Jadi bulan Juli ini harus sudah selesai. Rumusannya menunggu respons yang lain, kesepakatan penetapan Harga Batubara Acuan dulu juga demikian," terangnya di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (11/7).


Seperti diketahui, Kementerian ESDM, sudah mengeluarkan Permen 7/2017 mengenai HPM pada Januari 2017. Namun, pelaksanaan aturan ini masih tarik ulur dengan perusahaan pertambangan.

Bambang menyebut, pemerintah tetap tidak akan merevisi aturan tersebut. "Kemarin kami sudah di sosialisasikan ke pelaku usaha, masih menunggu respons, tapi aturan tidak akan direvisi," katanya.

Penetapan Harga Patokan Mineral mempertimbangkan beberapa faktor. Diantaranya kadar mineral logam, biaya produksi, hingga Harga Mineral Acuan (HMA). Acuan harga mineral ini, pemerintah memakai harga mineral di London Metal Exchange (LME), London Bullion Market Association. Asian Metal, dan atau Indonesia Commodity and Derivatives Exchange.

HPM logam merupakan harga yang ditetapkan di titik serah penjualan (at sale point) secara free on board untuk masing-masing komoditas tambang. Artinya harga bisa berbeda meskipun jenis logamnya sama.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM atas nama Menteri ESDM akan menetapkan HPM 13 komoditas logam tiap bulan.

Adapun 13 komoditas meliputi, nikel, kobalt, timbal, seng, bauksit, besi, emas, perak, timah, tembaga, mangan, krom dan titanium.

Bambang menegaskan, tujuan aturan ini bukan untuk mengontrol harga komoditas mineral yang ada di pasar.

Menurut Jonatan Handojo Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), jika HPM selalu mengacu pada harga London Metal Ecxhange (LME) dikalikan dengan rumusan dari Kementerian ESDM, tak banyak menolong pengusaha tambang. "Justru harga nikel semakin rendah bila LME dikalikan rumusan ESDM,” terangnya kepada KONTAN, (11/7).

Jonatan menegaskan harga nikel akan naik jika pemerintah kembali menutup keran ekspor mineral mentah melalui Peraturan Menteri No. 6/2017 Tentang Tata Cara Persyaratan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

"Kalau ekspor ditutup mungkin tertolong harganya. Kalau menerapkan HPM justru harga jatuh bisa dibawah US$ 8.000 per ton," urainya.

Asal tahu, harga nikel anjlok pada Juni tahun ini menjadi US$ 8.000 per ton – US$ 9.000 per ton jika ketimbang rata-rata semester II-2016 senilai US$ 11.000 per ton. Akibatnya  sekitar 17 smelter yang baru operasinya berhenti lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan