JAKARTA. Laju harga aluminium kembali tersendat. Setelah pekan lalu mencatatkan level tertinggi sejak Mei 2015 senilai US$ 1.913 per metrik ton, kini harganya kembali koreksi. Bahkan, analis memperkirakan harga aluminium tetap dalam tekanan dalam jangka panjang. Harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) Selasa (21/2) lalu melemah 0,74% ke US$ 1.886 per ton dibanding hari sebelumnya. Tapi sepekan terakhir, harganya masih naik tipis 0,05%. Andri Hardianto, analis Asia Tradepoint Futures, mengatakan, koreksi harga aluminium terjadi akibat penambahan pasokan dari China. Tak tanggung-tanggung, kenaikan produksi di Negeri Tirai Bambu mencapai 905.000 ton.
Secara global, di bulan Januari, produksi aluminium sudah mencapai 62 juta ton. "Kenaikan produksi tersebut telah mendorong harga jatuh, karena hal ini membuat pasokan membanjir di pasar," terang Andri, Rabu (22/2). Asosiasi Industri Logam Nonferrous China (CNIA) merilis produksi aluminium China mencapai rekor baru 2,95 juta ton di bulan Januari. Sepanjang tahun ini diperkirakan akan terjadi penambahan kapasitas produksi smelter China hingga 9% dari sebelumnya hanya tumbuh 1,4%. Di lain sisi, pelaku pasar masih meragukan pasokan yang membanjiri pasar bakal terserap seluruhnya. JP Morgan telah merilis adanya perlambatan permintaan. Meski industri otomotif diprediksi tumbuh, hal ini belum mengerek permintaan aluminium. Aluminium juga masih tertekan oleh kurs dollar AS yang masih cenderung menguat. Penguatan the greenback terjadi akibat rencana bank sentral AS The Federal Reserve menaikkan suku bunga di bulan Maret. Hal ini bisa menekan harga aluminium.