Harga anjlok, petani karet memilih jadi buruh



PALU. Anjloknya harga karet mentah di tingkat petani di Sulawesi Tengah menyebabkan banyak petani enggan menyadap. Mereka memilih bekerja menjadi buruh bangunan dan di perkebunan kelapa sawit.

James, salah seorang petani karet di Desa Lawangke, Kecamatan Lembo Raya, Kabupaten Morowali Utara, membenarkan jika harga komoditas ekspor itu menurun tajam hingga posisi Rp 5.000 /kg. Sebelumnya, harga karet mentah di tingkat petani sempat naik hingga mencapai Rp 20.000 /kg.

Kebanyakan petani karet sekarang lebih memilih menjadi buruh bangunan atau bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit dengan upah rata-rata Rp 60.000/orang/hari. "Kalau upah buruh bangunan lebih tinggi yaitu Rp 70.000/orang per hari," katanya.


Hal senada juga disampaikan Yan (45), seorang petani karet di Desa Korobonde, Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali Utara yang menyebutkan turunnya harga karet membuat petani enggan menyadap. "Mereka lebih memilih menjadi buruh di perkebunan sawit dan bangunan," katanya.

Yan mengaku punya lahan karet seluas 1,5 hektare di Desa Korobonde, namun ia enggan menyadap karena harga jual terlalu minim.

Perkebunan karet di Sulteng hanya ada di Kabupaten Morowali Utara. Pengembangan perkebunan karet secara besar-besaran di daerah itu dilakukan oleh PTPN XIV mulai 1982.

Data Dinas Perkebunan Sulawesi Tengah mencatat luas areal tanaman karet di wilayah tersebut mencapai 17.302 hektare dengan produksi rata-rata mencapai 176.525 ton karet mentah tiap tahun.

Sementara jumlah petani yang selama ini sangat bergantung kepada komoditas ekspor itu sebanyak 8.707 orang. Petani sebanyak itu tersebar di sejumlah desa di dua Kecamatan yakni Lembo dan Lembo Raya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa