Harga ayam menopang kinerja emiten poultry



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Solidnya harga ayam broiler dan day old chicken (DOC) mampu mendongkrak kinerja emiten di sektor perunggasan (poultry) semester satu lalu. Namun di saat bersamaan, emiten poultry masih dihantui tren pelemahan rupiah.

Sejauh ini, hingga paruh pertama 2018, pelemahan rupiah belum berdampak terlalu besar. Buktinya, kinerja keuangan tiga pemain besar di sektor poultry, yakni PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) dan PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) kompak cemerlang.

Ambil contoh, JPFA mampu meraup pendapatan Rp 16,7 triliun atau naik 18,19% di semester I-2018. Laba bersih emiten ini juga melesat 127% jadi Rp 1,11 triliun.


Analis Danareksa Sekuritas Adeline Solaiman mengatakan, kinerja mengesankan emiten di sektor poultry memang tak lepas dari kenaikan harga ayam broiler dan DOC yang mencapai puncaknya pada kuartal dua lalu. Hal ini bertepatan dengan momen lebaran yang mengerek permintaan terhadap kedua jenis ayam tersebut.

Bahkan, kini harga ayam broiler dan DOC masih melanjutkan kenaikan. Ia menyebut, harga ayam broiler naik 6,2% (mom) atau 37,8% (yoy) menjadi Rp 22.960 per kilogram (kg) pada akhir Juli lalu. Sedangkan harga penjualan rata-rata atau average selling price (ASP) ayam broiler hingga Juli telah naik 23,8% (yoy) menjadi Rp 20.457 per kg.

Setali tiga uang, harga DOC naik 4,4% (mom) atau 44,9% (yoy) menjadi Rp 5.531 per DOC Juli lalu. Di periode yang sama, ASP ayam DOC mencapai Rp 5.065 per DOC atau naik 24,5% (yoy). "Kenaikan harga yang masih terjadi hingga awal semester kedua merupakan hal yang positif bagi pelaku industri poultry," imbuhnya, Jumat (3/8).

Dalam riset 3 Agustus, analis BCA Sekuritas Johanes Prasetya menyatakan, kenaikan harga ayam broiler dan DOC disebabkan berkurangnya suplai. Ini disinyalir sebagai dampak kebijakan pemerintah melarang penggunaan Antibiothic Growth Promoters (AGP) sejak Januari 2018. AGP adalah antibiotik untuk mencegah penyakit sekaligus mempercepat pertumbuhan.

Akibatnya, risiko kematian unggas jadi lebih tinggi, lantaran belum semua peternak siap memenuhi kebijakan tersebut, terutama peternak yang tidak memiliki fasilitas memadai. "Dengan kondisi demikian, harga ayam broiler dan DOC akan bertahan selama sisa tahun ini dan dapat naik sekitar 5%–10% pada 2019 mendatang," papar Johanes.

Selain kenaikan harga ayam broiler dan DOC, sentimen pelemahan rupiah juga menjadi perhatian utama emiten-emiten sektor poultry. Maklum, mengingat sebagian pakan ternak masih diimpor dari luar negeri.

Beban penjualan

Adeline menyebut, kenaikan harga ayam broiler dan DOC tak hanya menguntungkan dari sisi pendapatan dan laba, melainkan juga mengurangi dampak pelemahan rupiah. "Seandainya harga ayam tidak naik, sedangkan rupiah melemah, margin perusahaan jadi jelek," kata dia.

Asal tahu saja, 35% dari beban penjualan emiten poultry biasanya berupa bungkil kedelai yang diimpor dari Amerika Selatan. Ketika dollar Amerika Serikat melonjak, otomatis beban pengeluaran emiten membengkak.

Johanes menambahkan, kondisi makin pelik jika di saat yang sama harga bungkil kedelai juga ikut naik. Ia menyebut, per Mei 2018, harga bungkil kedelai sempat meningkat 28,9% (ytd), sebelum melemah lagi di awal Agustus 2018, sehingga kenaikan harganya hanya 6,8% (ytd).

Analis RHB Sekuritas Michael Wilson Setjoadi memaparkan, larangan impor jagung sebagai pakan ternak bagi emiten poultry yang diberlakukan sejak 2017 silam juga membawa berkah. Pasalnya, emiten poultry kini tak lagi berurusan dengan beban kurs ketika membeli jagung. Apalagi, porsi jagung dalam beban penjualan perusahaan bisa mencapai 50%.

Namun, emiten-emiten poultry tetap harus mewaspadai tren kenaikan harga jagung lokal. Jika di kuartal satu harga jagung ada di kisaran Rp 3.500 per kilogram, maka di awal semester dua melesat jadi Rp 4.500 per kilogram.

Michael sendiri masih menjagokan CPIN sebagai emiten poultry yang berpeluang memperoleh kinerja mentereng hingga tutup tahun nanti. Ia menyarankan beli dengan target Rp 5.000 per saham.

Sementara Adeline memfavoritkan JPFA. Ia merekomendasikan beli dengan target harga Rp 2.600 per saham.

Adapun Johanes menyukai JPFA dan CPIN. Keduanya sama-sama mendapat rekomendasi beli dengan target harga Rp 3.300 per saham untuk JPFA dan Rp 6.000 per saham untuk CPIN.         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati