JAKARTA. Lonjakan harga sejumlah bahan baku pangan meresahkan para pelaku usaha kuliner kalangan industri kecil menengah (IKM). Belum lagi usai gejolak kenaikan harga daging sapi, masyarakat harus menghadapi lonjakan harga bawang merah, bawang putih dan cabai. Ini semua membuat pebisnis kuliner harus merelakan keuntungannya terpangkas.Presiden Direktur Baba Rafi Enterprise, Hendy Setiono mengaku, sejumlah gerainya sudah merasakan penurunan margin laba dan keuntungan bersih dalam sebulan terakhir. Asal tahu saja, Baba Rafi Enterprise membawahi sejumlah brand kuliner, yakni Kebab Baba Rafi, Ayam Bakar Mas Mono, Nasi Goreng Baba Rafi, dan Bebek Garang. "Kalau biasanya, setiap gerai kami bisa memperoleh margin 30%, sebulan terakhir hanya bisa mendapatkan margin keuntungan bersih sekitar 20%," ungkapnya.Menurut Hendy, bagi usahanya, kenaikan harga daging sapi yang paling terasa merugikan. Pasalnya, daging sapi merupakan bahan baku utama membuat kebab. Ditambah lagi kenaikan harga bawang dan cabai. Meski tidak banyak menggunakan bahan tersebut, tetap saja harus merogoh kocek lebih besar untuk membelinya. Padahal, Hendy bilang, ia tidak bisa gegabah mengerek harga jual, karena bisa merugikan bisnisnya. Maklum, persaingan di bisnis kuliner sangat ketat, kenaikan harga bisa menyurutkan niat konsumen untuk membeli. Apalagi, Baba Rafi baru saja menaikkan harga di awal tahun ini sebagai konsekuensi kenaikan upah minimum karyawan.Ia hanya berharap lonjakan harga tidak berlangsung lama, dan pemerintah bertindak cepat menormalkan harga bahan baku. "Selama ini, kenaikan harga bikin kami menahan nafas. Semoga harga berangsur-angsur normal lagi," ucapnya.Pebisnis kuliner lainnya, Wildan Niahzif mengaku, terpaksa mengerek harga jual mengikuti kenaikan harga bahan baku, terutama iga sapi. Sebagai acuan kenaikan harga jual produk, ia menetapkan kebijakan batas atas harga beli iga di pasaran. Menurut Wildan, sekitar tiga bulan yang lalu, batas atas harga beli iga masih Rp 60.000 per kilogram. Namun, sejak harga daging sapi melejit belakangan ini, ia menaikkan batas atas menjadi Rp 62.000 per kg. "Tiap harga di pasaran sudah melampaui batas atas, kami menaikkan harga produk sekitar 10%," kata Wildan.Namun, ia mengaku, efeknya cukup besar pada pendapatan usaha. Omzet bulanan bisa turun sampai 20%. "Daya beli masyarakat menurun. Orang lebih memiliki makan di rumah ketimbang jajan," bebernya. Adapun, terkait kenaikan harga bawang putih dan merah, Wildan belum membuat kebijakan khusus. Menurutnya, tidak mungkin menurunkan kualitas resep makanan yang menggunakan kedua bumbu itu. Maklum, kualitas rasa menjadi andalan utama bisnis kuliner. Tapi, Wildan bilang, sejauh ini, dengan mengerek harga jual produk sebesar 10%, setidaknya bisa menutupi atau meringankan pengeluaran untuk bumbu bawang yang harganya naik.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Harga bahan baku melejit, margin pengusaha menipis
JAKARTA. Lonjakan harga sejumlah bahan baku pangan meresahkan para pelaku usaha kuliner kalangan industri kecil menengah (IKM). Belum lagi usai gejolak kenaikan harga daging sapi, masyarakat harus menghadapi lonjakan harga bawang merah, bawang putih dan cabai. Ini semua membuat pebisnis kuliner harus merelakan keuntungannya terpangkas.Presiden Direktur Baba Rafi Enterprise, Hendy Setiono mengaku, sejumlah gerainya sudah merasakan penurunan margin laba dan keuntungan bersih dalam sebulan terakhir. Asal tahu saja, Baba Rafi Enterprise membawahi sejumlah brand kuliner, yakni Kebab Baba Rafi, Ayam Bakar Mas Mono, Nasi Goreng Baba Rafi, dan Bebek Garang. "Kalau biasanya, setiap gerai kami bisa memperoleh margin 30%, sebulan terakhir hanya bisa mendapatkan margin keuntungan bersih sekitar 20%," ungkapnya.Menurut Hendy, bagi usahanya, kenaikan harga daging sapi yang paling terasa merugikan. Pasalnya, daging sapi merupakan bahan baku utama membuat kebab. Ditambah lagi kenaikan harga bawang dan cabai. Meski tidak banyak menggunakan bahan tersebut, tetap saja harus merogoh kocek lebih besar untuk membelinya. Padahal, Hendy bilang, ia tidak bisa gegabah mengerek harga jual, karena bisa merugikan bisnisnya. Maklum, persaingan di bisnis kuliner sangat ketat, kenaikan harga bisa menyurutkan niat konsumen untuk membeli. Apalagi, Baba Rafi baru saja menaikkan harga di awal tahun ini sebagai konsekuensi kenaikan upah minimum karyawan.Ia hanya berharap lonjakan harga tidak berlangsung lama, dan pemerintah bertindak cepat menormalkan harga bahan baku. "Selama ini, kenaikan harga bikin kami menahan nafas. Semoga harga berangsur-angsur normal lagi," ucapnya.Pebisnis kuliner lainnya, Wildan Niahzif mengaku, terpaksa mengerek harga jual mengikuti kenaikan harga bahan baku, terutama iga sapi. Sebagai acuan kenaikan harga jual produk, ia menetapkan kebijakan batas atas harga beli iga di pasaran. Menurut Wildan, sekitar tiga bulan yang lalu, batas atas harga beli iga masih Rp 60.000 per kilogram. Namun, sejak harga daging sapi melejit belakangan ini, ia menaikkan batas atas menjadi Rp 62.000 per kg. "Tiap harga di pasaran sudah melampaui batas atas, kami menaikkan harga produk sekitar 10%," kata Wildan.Namun, ia mengaku, efeknya cukup besar pada pendapatan usaha. Omzet bulanan bisa turun sampai 20%. "Daya beli masyarakat menurun. Orang lebih memiliki makan di rumah ketimbang jajan," bebernya. Adapun, terkait kenaikan harga bawang putih dan merah, Wildan belum membuat kebijakan khusus. Menurutnya, tidak mungkin menurunkan kualitas resep makanan yang menggunakan kedua bumbu itu. Maklum, kualitas rasa menjadi andalan utama bisnis kuliner. Tapi, Wildan bilang, sejauh ini, dengan mengerek harga jual produk sebesar 10%, setidaknya bisa menutupi atau meringankan pengeluaran untuk bumbu bawang yang harganya naik.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News