Harga bahan bangunan naik 0,28% setiap bulan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga bahan bangunan sejak awal tahun hingga September 2017 terus menerus mengalami kenaikan. Hal ini dikhawatirkan dapat menambah beban biaya pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Kenaikan harga bahan bangunan tersebut tampak pada Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) bahan bangunan atau konstruksi yang dicatatkan Badan Pusat Statistik (BPS). Selama sembilan bulan berjalan, rata-rata kenaikan setiap bulannya mencapai 0,28% dibanding bulan sebelumnya.

Artinya, selama sembilan bulan berjalan, rata-rata setiap bulan terjadi inflasi di level grosir untuk bahan bangunan atau konstruksi sebesar itu. Kenaikan tersebut utamanya terjadi pada kenaikan pada harga komoditas besi dan beton.


Terakhir, di September lalu, IHPB bahan bangunan atau konstruksi naik 0,68% setelah di bulan sebelumnya juga naik 0,26%. Utamanya, terjadi karena kenaikan harga komoditas besi beton, kawat dan sejenisnya, paku, mur, baut, besi lainnya, dan bahan bangunan dari aluminium.

"Sehingga di tahun kalender IHPB kostruksi ini (mengalami inflasi) 2,61%. Sementara YoY-nya (inflasi) 3,02%," kata Kepala BPS Suhariyanto, Senin (2/10) lalu.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, saat ini produksi semen melebihi kapasitasnya. Sementara industri logam dasar turun sepanjang 2016 lalu. Kapasitas produksinya kata Bhima hanya 60%.

Dengan demikian, kenaikan IHPB konstruksi tersebut bukan karena kelangkaan pasokan. Melainkan, "karena faktor harga besi, baja, dan kawat impor yang naik," kata Bhima kepada KONTAN, Selasa (3/10).

Menurut Bhima, kenaikan harga bahan konstruksi tersebut berpotensi mengganggu pembangunan infrastruktur. Apalagi, kurs rupiah tengah mengalami pelemahan.

Idealnya lanjut dia, harga yang mengalami kenaikan adalah harga barang industri yang berorientasi ekspor. "Karena itu menjadi pertanda permintaan mulai pulih," tambah dia.

Pihaknya menyarankan agar pemerintah memfokuskan kembali pembangunan infrastruktur. Menurutnya, lebih baik pemerintah mengurangi 245 Program Strategis Nasional.

"Kalau dipaksakan dikerjakan semua terlalu berisiko. Apalagi kebutuhan bahan bangunannya sebagian diperoleh dari impor yang rentan terhadap pelemahan rupiah," tambah dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia