Harga Baja Masih Tertekan, Simak Prospek dan Rekomendasi Sahamnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten baja masih dibayangi oleh tertekannya harga baja global.

Melansir Trading Economics, harga baja HRC ada di level US$ 688,05 per ton. Angka itu turun 1,99% sebulan terakhir dan terkoreksi 37,05% sejak awal tahun alias year to date (YTD).

Corporate Secretary & Investor Relations ISSP Johannes Edward menjelaskan, penurunan nilai penjualan pasti terjadi di tengah penurunan harga baja. Sebab, harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) perseroan terpengaruh dengan harga HRC global.


“Namun, yang terpenting bagi ISSP adalah volume penjualan. Sebab, di saat volume penjualan baik, kami dapat mengefisienkan biaya, dan mempertinggi margin,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (4/12).

Baca Juga: Prospek Emiten Kertas Bakal Moncer di Tengah Pulihnya Ekonomi China

Secara tahunan, laba bersih ISSP menyusut 1,5% year on year (YoY) menjadi Rp 358 miliar hingga akhir kuartal III 2024. 

Adapun, pendapatan ISSP pada kuartal III 2024 mencapai Rp 4,31 triliun atau turun 9,69% YoY dari periode sama pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp 4,77 triliun.

Menurut Johannes, harga baja HRC China sebenarnya dalam tren kenaikan sejak Negeri Tirai Bambu itu mengumumkan kebijakan penambahan stimulus untuk ekonomi domestik. Di akhir tahun 2024, ISSP menargetkan ASP perseroan bisa lebih tinggi 5% dari tahun 2023.

“Hal itu dikombinasikan dengan penguatan indeks dolar terhadap rupiah, sehingga menjadikan ASP kami dalam satu bulan terakhir justru mengalami kenaikan,” tuturnya.

Meskipun belum menyebutkan angka pasti, produksi baja ISSP sudah mencapai sekitar 85% target per November 2024.

Untuk 2025, ISSP melihat bahwa harga baja kemungkinan masih tertekan akibat oversupply. 

“Sementara, pertumbuhan penjualan secara volume dan laba di tahun 2025 kami targetkan 10% dari tahun ini,” ungkapnya.

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer melihat, kinerja emiten baja secara YTD masih terlihat mengalami tekanan. Salah satu penyebabnya masih dipengaruhi oleh turunnya volume permintaan yang juga terkait dengan penurunan harga baja global.

Meskipun begitu, jika dilihat dari pergerakan harga baja global yang mulai rebound di akhir kuartal III 2024 menjadi salah satu indikasi positif bagi sektor baja nasional ke depannya.

“Ini merupakan pertanda kenaikan permintaan produk baja itu sendiri yang bisa berdampak positif bagi kinerja emiten baja di akhir tahun 2024 nanti,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (4/12).

Baca Juga: IHSG Menguat 1,82% ke Level 7.326, Top Gainers LQ45: BRPT, MEDC, CPIN, Rabu (4/12)

Di sisi lain, terkait dengan rencana perpanjangan kebijakan pemerintah mengenai Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap baja impor, dampaknya justru bisa meningkatnya permintaan baja domestik. 

Pembangunan infrastruktur lainnya, baik dari pemerintah (IKN) maupun swasta, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, hingga sektor energi, diperkirakan juga bisa menjadi salah satu pendorong emiten baja di periode mendatang.

Untuk tahun 2025, emiten baja memiliki peluang untuk pulih. Pemulihan kinerja emiten baja di tahun depan didorong oleh proyek infrastruktur pemerintah dan transisi energi yang membutuhkan material baja. 

Sentimen positif mencakup pemulihan ekonomi global dan peningkatan permintaan baja dari sektor otomotif dan konstruksi. 

“Namun, tantangan, seperti fluktuasi harga bahan baku dan ketergantungan pada kebijakan China, tetap menjadi risiko mereka,” tuturnya.

Khaer melihat, kinerja emiten baja hari ini yang masih lemah sejalan dengan volume penjualan baja domestik yang masih cenderung tertekan.

“Emiten yang masih cenderung stabil dengan raihan laba bersih yang masih positif adalah ISSP. Meski begitu, kami masih cenderung wait and see untuk sektor ini,” paparnya.

Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta mengatakan, kinerja emiten baja per hari ini masih tertekan dan belum menunjukkan pemulihan. Hal itu disebabkan oleh masih terperosoknya harga baja.

Baca Juga: Presiden Prabowo Sebut Saham Seperti Judi, Begini Respons BEI

Di sisi lain, terjadi oversupply baja di pasar domestik lantaran ada serbuan produk impor baja.

“Kebijakan proteksionisme Donald Trump di Amerika Serikat (AS) akan meningkatkan potensi perang dagang dan akan makin menekan harga baja,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (4/12).

Ke depan, sentimen positif yang akan menopang kinerja emiten baja terkait dengan pembangunan infrastruktur yang masih dikejar oleh pemerintah.

“Hal ini akan bisa menyerap produk lokal atau produk domestik,” paparnya.

Alhasil, Nafan juga belum memberikan rekomendasi untuk saham emiten baja.

Selanjutnya: ASEAN Foundation Gandeng TikTok dan SAP Dukung Pengembangan Wirausaha Sosial di ASEAN

Menarik Dibaca: Hadirkan Ekosistem Hunian Sewa Komprehensif, Ini Deretan Produk Hunian dari Rukita

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .