Harga batubara acuan menurun lagi di bulan Maret 2019



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara acuan (HBA) masih melanjutkan tren negatif yang terjadi sejak September tahun lalu. Pada bulan Maret ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan HBA sebesar US$ 90,57 per ton, atau turun 1,34% dari HBA Februari 2019 yang sebesar US$ 91,8 per ton.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, tren penurunan harga ini sesuai dengan dinamika permintaan dan penawaran dari pasar. "Kalau harga itu mengikuti dinamika demand dan supply, nggak ada yang lain," kata Bambang saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (4/3).

Lebih lanjut, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Muhammad Hendrasto mengungkapkan, faktor eksternal yakni permintaan dari China masih menjadi penentu lemahnya harga batubara. Hendrasto bilang, permintaan dari Negeri Panda itu masih belum optimal, lantaran China mencoba untuk memaksimalkan kemampuan produksi batubara dalam negerinya sendiri.


"Harga rendah karena demand dari buyer juga nggak banyak, China masih memakai stoknya sendiri," ujar Hendrasto.

Asal tahu saja, ada empat variabel yang membentuk HBA. Yakni ndonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), GlobalCOAL Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900.

Masih membara

Kendati menunjukkan tren yang terus melempem dalam enam bulan terakhir, namun Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia yakin, bisnis batubara pada tahun ini tak akan kalah membara dari tahun lalu. Pada tahun lalu, rata-rata HBA ada di angka US$ 98,96 per ton, atau lebih tinggi dibanding rata-rata HBA tahun 2017 yang sebesar US$ 85,92 per ton.

"Meski tren menurun, rata-ratanya masih bagus. Tahun ini kemungkinan tidak jauh berbeda," kata Hendra.

Alasannya, Hendra melihat sejumlah perusahan batubara berskala besar masih mempertahankan bahkan tak sedikit yang menaikkan target produksi. Begitu pun dengan belanja modal atau capital expenditure (capex) yang dipatok konservatif, bahkan lebih besar dari tahun lalu.

Menurut Hendra, hal tersebut mencerminkan industri batubara yang masih prospektif, minimal mendekati capaian tahun lalu. "Secara umum itu terefleksi dari target-target produsen-produsen besar," sebutnya.

Hal senada dikemukakan Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif. Ia mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa industri batubara pada tahun ini masih prospektif.

Pertama, adanya pembatasan produksi, khususnya di izin usaha pertambangan (IUP) daerah menyebabkan pasokan batubara lebih terjaga, sehingga tidak terjadi over supply. Kedua, dilihat dari faktor ekternal, perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang mulai menemukan titik temu telah membawa sentimen positif pada pasar batubara global. Terlebih, kebutuhan konsumsi batubara di Asia memiliki porsi yang lebih besar ketimbang pengurangan konsumsi di Eropa.

Konsumsi batubara di Asia yang tetap terjaga itu disebabkan perkembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, termasuk juga di Indonesia. Dalam hal ini, Irwandy mengatakan, bisnis batubara pun akan terus prospektif selama perkembangan energi baru dan terbarukan (EBT) masih berjalan lambat.

Alhasil, kedua faktor tersebut berpengaruh terharap tren harga yang mulai membaik. Harga batubara kalori rendah sekitar 4.000 kcal/kg-4.200 kcal/kg yang sempat menukik hingga sekitar US$ 30 per ton, kini sudah merangkak naik menjadi US$ 37 per ton.

"Prospek bisnis batubara tahun ini masih menarik, kondisinya masih tidak jauh dari tahun lalu," tandas Irwandy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat