Harga batubara anjlok, PTBA dan BRAU merana



JAKARTA. Penurunan harga batubara dari US$ 120 per ton tahun lalu menjadi sekitar US$ 90 per ton pada bulan ini membuat pengusaha batubara gundah. Untuk menyiasati penurunan pendapatan, pengusaha akan mengalihkan pasar ke domestik.

Hananto Budi Laksono, Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), mengakui, penurunan harga batubara akan menggerus pendapatan perusahaan pertambangan plat merah itu. "Kami belum tahu berapa penurunan pendapatannya, nanti bisa dilihat di kuartal II tahun ini," ujar Hananto kepada KONTAN, Senin (28/5).

Meski pendapatan akan merosot, Hananto menyatakan penurunan itu tidak akan signifikan. Sebab, porsi ekspor batubara PTBA hanya 35%, sementara penjualan domestik mencapai 65% dari total penjualan PTBA.


PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah pembeli utama batubara PTBA di pasar lokal. Di pasar ekspor, PTBA mengirimkan batubara ke China sebanyak 11% dari total ekspor, sisanya dijual ke Jepang, India, dan Malaysia.

Penurunan harga batubara ini akan memukul penjualan ekspor. Sebab, harga ekspor ini biasanya diikat dengan kontrak hanya per tiga bulan sekali. Artinya, jika harga berubah dalam tiga bulan berturut-turut, si pembeli berhak meminta revisi harga.

Harga penjualan batubara ke domestik diikat dengan kontrak 1 tahun. Alhasil, penjualan ke domestik tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga batubara dalam rentang setahun. "Kami menjual batubara kualitas 5.000 - 5.900 kalori per kilogram Rp 825.000 per ton ke PLN," ujar Hananta.Oleh sebab itu, PTBA akan mengurangi ekspor batubara dan lebih banyak memacu penjualan ke pasar dalam negeri. Dari 11% ekspor batubara ke China, PTBA akan mengalihkan 4% ke pasar domestik.

Apalagi saat ini pasar batubara di China tak setinggi sebelumnya. Itu karena perkembangan pembangunan pembangkit di China mulai melambat. PTBA berharap, strategi pengalihan pasar ini membuat kinerja perusahaan stabil hingga akhir tahun.

Dampak penurunan harga batubara juga sudah dirasakan PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) dalam tiga bulan pertama tahun ini. Di kuartal I-2012, BRAU hanya meraup laba US$ 17,31 juta. Padahal di periode sama tahun lalu, BRAU bisa menorehkan laba US$ 41,67 juta.

Rosan P. Roeslani, Presiden Direktur BRAU, menuturkan, penyebab penurunan laba ini adalah merosotnya harga jual batubara. Tahun lalu, harga jual rata-rata batubara BRAU US$ 81 per ton. Di kuartal I-2012, rata-rata harga jual batubara BRAU turun menjadi US$ 79 per ton.Bisa setahun pulih

Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), mengungkapkan, harga batubara berpeluang turun terus hingga akhir tahun ini. Penyebabnya adalah pasokan batubara berlimpah, sementara permintaan menurun.

China memang pembeli utama batubara dari Indonesia. Persoalannya, saat ini bukan hanya Indonesia yang mengekspor batubara ke sana. Kanada dan Amerika Serikat juga bersemangat memasok batubara ke China.

Negara-negara di Amerika Utara itu pada tahun 2009 memasok batubara ke China 59,6 juta ton. Tahun 2011, pasokan mereka ke China melejit menjadi 107 juta ton. "Rata-rata kenaikan ekspor mereka ke China kira-kira 25% per tahun," ungkapnya.

Pasokan batubara yang berlebih ke China itulah membuat harga batubara tertekan. Untuk itu, saat ini beberapa perusahaan batubara besar yang porsi ekspornya ke China besar mulai melakukan efisiensi, baik dari sisi bahan bakar, sumber daya manusia, sampai biaya operasional penambangan.Selain itu, Supriatna menyarankan, agar produsen mengalihkan pasar ke Thailand, Filipina, Vietnam, Srilangka, Pakistan, dan negara-negara di Afrika.

Pengalihan pasar ini untuk penyebaran penjualan dan bisa membuat harga kembali "normal". "Saya memprediksi harga batubara akan kembali normal pada tahun depan," ungkap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri