JAKARTA. Harga batubara tergelincir setelah hambatan pengiriman batubara di Australia mereda. Senin (10/4) lalu, harga batubara kontrak pengiriman Mei 2017 di ICE Futures Exchange anjlok 3% ke US$ 84,4 per metrik ton. Bahkan dalam sepekan, harganya tergerus 4,6%. Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono menjelaskan, topan Debbie yang melanda Australia bulan lalu memang sempat membuat harga batubara membara. Maklum saja, gara-gara topan, sejumlah infrastruktur pengiriman batubara di Negeri Kangguru itu rusak parah. Topan Debbie terutama mempengaruhi harga batubara jenis
coking coal. "Sedangkan dampaknya ke harga batubara global di kontrak ICE Futures sudah mulai reda," kata Wahyu.
Tapi koreksi harga ini bersifat sementara. Isu dari China tetap jadi faktor utama penggerak batubara. Sekadar mengingatkan, intervensi pemerintah China terhadap industri batubara domestik terus berlangsung hingga saat ini. Jadi, ketika harga batubara tinggi, pemerintah China mengizinkan produsen untuk menggenjot produksi. Sebaliknya, pemerintah Negeri Tirai Bambu ini akan meminta produsen mengurangi angka produksi jika harga semakin lemah. Hal ini dilakukan untuk melindungi keberlangsungan industri batubara dalam negeri China, di tengah melemahnya permintaan. Tujuan lain adalah untuk mengurangi polusi udara akibat pembakaran batubara. Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar menambahkan, harga batubara juga mendapat sentimen positif dari kenaikan harga minyak dunia. Produsen minyak yang tergabung dalam OPEC berniat memperpanjang pembatasan produksi demi menjaga laju harga minyak. Permintaan lemah Tapi Deddy mengingatkan, permintaan batubara dunia masih belum membaik. Pemerintah Australia memprediksi, ekspor ke India tahun ini turun menjadi 161 juta metrik ton. Hingga tahun 2019 mendatang, ekspor komoditas ini ke India diperkirakan anjlok jadi 157 juta metrik ton. Ekspor batubara dari Indonesia juga diprediksi hanya sekitar 357 juta metrik ton pada 2022 nanti. Padahal tahun lalu, ekspor Indonesia bisa mencapai 379 juta ton. China sebagai importir terbesar batubara juga sedang mengurangi permintaan. Tahun ini Negeri Panda tersebut diperkirakan hanya mengimpor 171 juta metrik ton batubara. Padahal di 2016 bisa mencapai 180 juta metrik ton.
Ancaman bagi harga batubara bertambah setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyerukan kebangkitan industri batubara Negeri Paman Sam. Padahal konsumsi batubara AS terus tergerus seiring peningkatan penggunaan energi terbarukan seperti gas alam dan angin. Alhasil, ini membuat kekhawatiran terjadi banjir pasokan. Dari sisi teknikal, Deddy melihat harga batubara bergulir di atas
moving average (MA) 50, MA100 dan MA200. Indikator
moving average convergence divergence (MACD) berada di area positif. Lalu indikator
relative strength index (RSI) turun dari area
overbought tetapi di level 52, sehingga ada peluang kembali menguat. Sedang indikator
stochastic berada di level 60 dengan kecenderungan naik. Hari ini (12/4), Deddy memprediksi harga batubara naik dan bergerak di rentang US$ 82,8-US$ 85,2 per metrik ton. Sedang menurut hitungan Wahyu, dalam sepekan ke depan harga si hitam akan bergerak di rentang US$ 80-US$ 90 per metrik ton. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia