KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga komoditas energi tahun ini turun berjamaah. Penurunan terutama tampak pada harga batubara dan gas alam. Sementara harga minyak hanya mencatat penurunan tipis di tengah konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina. Harga minyak west texas intermediate (WTI) dan Brent turun masing-masing 6% dan 4% sepanjang tahun 2023. Sementara harga batubara dan gas alam merosot masing-masing 48% dan 44% tahun lalu. Berikut kinerja harga komoditas energi sepanjang 2023
Komoditas | 2022 | 2023 | % | Tertinggi 2023 | Terendah 2023 | Rata-rata 2023 |
Minyak WTI (US$ per barel) | 76,30 | 71,65 | -6,09% | 87,42 | 65,89 | 75,39 |
Minyak Brent (US$ per barel) | 80,30 | 77,04 | -4,06% | 90,28 | 70,34 | 79,44 |
Batubara (US$ per ton) | 258,90 | 133,80 | -48.32% | 262,85 | 127,45 | 175.91 |
Gas Alam (US$ per MMBtu) | 4,47 | 2,51 | -43,85% | 4,47 | 1,99 | 2,67 |
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, harga batubara dunia akan sangat bergantung dengan permintaan dari China dan India. Kedua negara tersebut dengan kondisi ekonomi saat ini lebih banyak melakukan produksi dalam negeri. Apalagi, selain sebagai konsumen terbesar, China merupakan salah satu negara penghasil batubara terbesar di dunia. Saat menghadapi perlambatan ekonomi, China fokus terhadap tambang-tambang batubara di dalam negeri sehingga impornya berkurang. Permintaan listrik di India juga sangat rendah sehingga negara konsumen batubara terbesar kedua di dunia ini mengurangi impor batubaranya dan fokus pada produksi dalam negeri. "Sehingga dua negara importir batubara terbesar di dunia ini mengalami penurunan impor dan membuat harga barubara terus mencatatkan penurunan," kata Ibrahim kepada Kontan.co.id, Rabu (20/12). Penurunan harga minyak dunia juga berdampak pada koreksi harga komoditas energi yang menjadi turunannya, yakni gas alam dan batubara. Apalagi, musim dingin di Eropa dan belahan bumi utara lainnya tidak sedingin biasanya karena musim panas yang ekstrem. Hal ini pun memengaruhi permintaan batubara dari negara-negara Eropa. Ibrahim memprediksi, harga batubara bakal berkisar di US$ 90 per metrik-US$ 140 per metrik ton tahun ini. Faktor penyebabnya adalah meredanya konflik Hamas-Israel dan berakhirnya perang Rusia-Ukraina, serta batubara secara perlahan akan kembali ke harga fundamentalnya.
Baca Juga: Harga Nikel Turun 45% Tahun 2023, Intip Rekomendasi Saham Emiten Nikel Selanjutnya Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono juga melihat, dalam jangka menengah hingga panjang, harga batubara masih cenderung tertekan. Pasalnya, permintaan batubara termal seaborne dari China dan India lanjut turun. China diperkirakan akan mengimpor 24,82 juta metrik ton batubara termal seaborne pada Desember, turun dari 29,38 juta pada November. Kemudian India akan mengimpor 14,54 juta metrik ton batubara termal seaborne pada bulan Desember 2023, turun dari 17,42 juta pada bulan November. "Jika kondisi fundamental global masih rentan, maka harga bisa cenderung turun lagi atau setidaknya konsolidatif di awal tahun 2024," kata Wahyu. Namun, secara jangka pendek, harga masih
oversold dan potensial
rebound. Faktor pendukungnya berasal dari musim dingin yang biasanya meningkatkan permintaan batubara ditambah harganya yang sudah sangat anjlok sebelumnya. Wahyu memprediksi, kisaran harga batubara tahun 2024 berada di US$ 100 per metrik ton-US$ 300 per metrik ton dengan strategi
sell on strength di atas US$ 250 dan
buy on weakness di dekat atau bawah US$ 100.
Baca Juga: Nikel Terburuk, Harga Emas Justru Jawara Sepanjang 2023 Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, risiko geopolitik telah meningkatkan harga minyak mentah, yang memaksa pengirim untuk mengalihkan pengiriman ke sekitar ujung selatan Afrika daripada melalui Laut Merah, sehingga mengganggu pasokan minyak mentah. Setidaknya dua puluh lima kapal dagang telah diserang atau didekati di sekitar Yaman oleh militan Houthi yang didukung Iran di Laut Merah sejak perang Israel dengan Hamas pecah pada bulan Oktober. Sutopo menyebutkan, meningkatnya risiko geopolitik telah memberikan dorongan pada harga minyak mentah, setelah militer Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan terhadap 3 instalasi di Irak untuk menargetkan kelompok teroris yang didukung oleh Iran yang dituduh melakukan serangkaian serangan pesawat tak berawak terhadap pasukan Amerika. Selain itu, angkatan laut Inggris pada hari Selasa (26/12) melaporkan serangan terhadap 2 kapal komersial yang berlayar di Laut Merah dekat Yaman. Seorang pejabat Israel juga mengatakan kepada media pada hari Selasa bahwa perang Gaza akan berlangsung selama berbulan-bulan. “Narasi tersebut memicu kekhawatiran akan konflik geopolitik yang lebih dalam di Timur Tengah yang dapat mengganggu aliran minyak,” kata Sutopo kepada Kontan.co.id, Rabu (27/12). Hanya saja, sentimen pendukung dari konflik di Laut Merah bagi harga minyak mentah tidak berlangsung lama. Harga minyak mentah berjangka WTI turun menuju US$75 per barel pada hari Rabu (27/12), seiring langkah perusahaan pelayaran besar mulai kembali ke Laut Merah, meskipun terjadi serangan terus-menerus dan ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah. Maersk dari Denmark dan CMA CGM dari Prancis mengatakan bahwa mereka melanjutkan perjalanan melalui Laut Merah, menyusul pembentukan satuan tugas maritim pimpinan AS yang diberi mandat untuk melindungi kapal-kapal komersial di wilayah tersebut.
Baca Juga: Harga Minyak Turun 10% di Tahun 2023, Terseret Kekhawatiran Pasokan dan Permintaan Analis Komoditas Lukman Leong mengamati, faktor pendukung kenaikan harga minyak mentah adalah gangguan pasokan dari konflik di Laut Merah, pelemahan dolar AS, dan harapan yang meningkat apabila The Fed memangkas suku bunga di Maret 2024. Ekspektasi The Fed memangkas suku bunga muncul setelah serangkaian data ekonomi yang lebih lemah dari harapan seperti inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). “Harapan pemangkasan suku bunga oleh bank-bank sentral dunia akan mendukung harga untuk jangka panjang. Investor berharap kebijakan yang lebih longgar dari bank sentral akan mendukung permintaan komoditas energi,” jelas Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (27/12). Lukman menjelaskan, efek dari pelonggaran kebijakan moneter bank sentral akan berdampak pada permintaan komoditas energi seperti minyak dunia, gas alam ataupun batu bara. Permintaan yang meningkat akan mengimbangi kondisi pasokan komoditas yang meningkat. Faktor China sebagai konsumen terbesar komoditas energi akan menentukan pergerakan harga. Batubara akan lebih ditentukan oleh permintaan China, sedangkan gas alam masih terus tertekan oleh produksi AS yang terus meningkat Namun, Lukman menilai, kebijakan produksi dari OPEC+ merupakan faktor yang paling utama pada harga minyak mentah. Organisasi negara pengekspor minyak itu akan terus berusaha mendukung harga di atas US$70 per barel dengan cara mengontrol produksi. “Melihat informasi yang ada dan perkembangan saat ini, konflik di Laut Merah masih akan berkelanjutan dan mendukung harga minyak. Namun yang paling utama saya tetap melihat kebijakan produksi OPEC+,” ujarnya.
Baca Juga: Dibutuhkan Saat Transisi Energi, Proyek Gasifikasi Batubara Diharapkan Tetap Digarap Menurut Lukman, kebijakan OPEC+ saat ini memang masih belum maksimal. Dengan sikap mereka sekarang tampaknya akan susah menaikkan harga di atas US$80 per barel. Namun, OPEC+ juga berusaha mencari titik seimbang harga selama di atas US$70 per barel. Sutopo menerangkan bahwa selisih pendapat di organisasi OPEC+ telah menjadi faktor bearish bagi harga minyak. Di mana, pekan lalu Angola meninggalkan OPEC di tengah perselisihan mengenai kuota produksi minyak. Perlu diketahui, Angola adalah produsen minyak mentah terbesar kedua di Afrika, dan perselisihan antara Angola dan anggota OPEC+ lainnya merupakan faktor
bearish yang menandakan pertikaian antar anggota. Sutopo melihat, anggota OPEC lainnya mungkin menolak keras upaya Arab Saudi yang memaksa semua anggotanya melakukan pengurangan produksi. Pada tanggal 30 November 2023 lalu, OPEC+ setuju untuk memangkas produksi minyak mentah sebesar -1,0 juta barel per hari hingga Juni 2024.
Baca Juga: Smelter Makin Banyak, Prospek Bisnis Mineral Kritis Makin Menarik Namun, para delegasi mengatakan rincian akhir dari perjanjian baru tersebut, termasuk tingkat produksi nasional akan diumumkan secara individual oleh masing-masing negara dan bukan dalam komunike OPEC+ yang lazim.
"Pasar kecewa karena pengurangan tambahan produksi minyak mentah OPEC akan diumumkan oleh masing-masing negara, yang menunjukkan bahwa pengurangan tersebut mungkin hanya bersifat sukarela," ungkap Sutopo. Sutopo memperkirakan harga minyak mentah WTI diperkirakan diperdagangkan pada US$ 75 per barel pada awal tahun 2024. Terdapat kemungkinan menguji level harga US$ 80 per barel, jika situasi geopolitik tidak mereda. Sementara Lukman memperkirakan harga minyak akan berkisar US$ 80 di semester I 2024. Sedangkan harga gas alam AS diproyeksi bergerak dalam rentang US$ 2 per MMBtu-US$ 2,25 per MMBtu. Lukman memprediksikan harga batubara bergerak dalam kisaran US$ 125 per ton-US$ 140 per ton di awal tahun 2024. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati