Harga batubara masih berada dalam tren bullish



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski melemah dalam tiga pekan terakhir, tren harga batubara diyakini masih bullish. Tingkat permintaan yang tinggi dalam jangka panjang mampu menjadi katalis positif yang menguatkan harga.

“Tarif impor baja Amerika Serikat (AS) dapat menambah permintaan batubara dan kokas domestik,” ungkap Wahyu Tribowo Laksono, Analis PT Central Capital Futures kepada Kontan.co.id, Jumat (16/3).

Wahyu melihat, tingginya tarif impor baja dan aluminium yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump bisa memicu produksi baja lokal. Mau tidak mau perusahaan baja lokal AS pasti akan membutuhkan lebih banyak batubara sebagai bahan bakarnya. Padahal Energy Information and Administration (EIA) telah memperkirakan produksi batubara negeri Paman Sam di tahun ini akan turun 0,7% menjadi 765 juta ton.


Begitu juga dengan China. Meningkatnya biaya produksi batubara dalam negeri dan peraturan lingkungan dan keselamatan yang lebih ketat membuat prospek pertumbuhan prospek pasokan menjadi terbatas.

Tak heran tingkat impor batubara China pun menjadi semakin tinggi. Biro Statistik Australia melaporkan China memimpin pertumbuhan permintaan batubara asal New South Wales yakni sekitar 10% menjadi 23,7 juta ton.

Bahkan kata Wahyu, Citibank telah memperkirakan harga batubara akan tetap positif selama dua tahun ke depan. Citibank meningkatkan proyeksi harga batubara dari US$ 75 per metrik ton menjadi US$ 85 per metrik ton untuk tahun depan dan dari US$ 65 metrik ton menjadi US$ 80 per metrik ton paea 2020.

“Pertumbuhan terbatas produksi batubara China mendukung harga dalam dua tahun kedepan,” kata Wahyu.

Keyakinan serupa diungkapkan oleh Ibrahim, Direktur PT Garuda Berjangka. Menurut dia, sinyal permintaan batubara tercermin dari membaiknya data industri manufaktur China. Di bulan Februari hasilnya membaik ke level 7,2% dari sebelumnya di level 6,2%. Di tengah reformasi tambang yang diterapkan negeri tirai bambu itu kebutuhan batubara sebagai bahan baku industri terus meningkat.

Walaupun China tengah berusaha untuk mengalihkan penggunaan batubara ke gas alam sebagai bahan bakar ramah lingkungan tetapi itu tidak mungkin terjadi dalam waktu singkat. Di awal tahun ini saja akhirnya pemerintah terpaksa kembali membuka pembatasan batubara karena persediaan gas alam tidak mencukupi. “Untuk membangun pabrik gas alam itu gak gampang,” paparnya.

Ibrahim melihat, permintaan juga akan datang dari AS. Kebutuhan batubara dari sektor pembangkit listrik dan pendinginan reaktor nuklir di era Trump meningkat tiga kali lipat dibanding era Presiden Barack Obama. Apalagi AS memiliki reaktor nuklir terbanyak.

Menurut Ibrahim setelah nasib suku bunga Bank Sentral AS resmi diputuskan pada pekan depan, maka batubara bisa kembali menguat. Hanya saja ia melihat ketika keputusan itu dirilis kemungkinan harganya bisa jatuh terlebih dahulu di bawah level US$ 90 per metrik ton. “Kalau suku bunga naik, dollar menguat. Namun setelah itu batubara akan kembali ke fundamentalnya,” tandasnya.

Meski beberapa negara mulai mengurangi penggunaan batubara tetapi ia yakin fundamental batubara masih cukup positif. Kata dia keputusan Korea Selatan untuk menangguhkan lima pembangkit listrik berbahan bakar batubara selama Maret-Juni 2018 tidak akan berdampak signifikan. Menurutnya kondisi geopolitik lebih berpengaruh menggerakkan harga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati