KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan harga batubara yang terjadi saat ini diprediksi bakal rawan koreksi. Meskipun begitu, secara tren harganya masih akan bergerak naik didukung dengan beberapa sentimen penopang termasuk harga minyak yang sempat naik. Pada Rabu (2/12), harga batubara Newcastle kontrak pengiriman Maret 2021 di ICE Futures berada di US$ 70,90 per metrik ton. Ini adalah harga tertinggi batubara sejak 18 Februari 2020 atau hampir 10 bulan terakhir. Harga batubara naik 2,60% ketimbang hari sebelumnya. Harga komoditas energi ini sudah melesat 15,38% dalam sebulan terakhir.
nalis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengungkapkan, sejauh ini tren utama harga komoditas energi menopang harga batubara. Ditambah lagi
reflationary trade dan hasil pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS). Wahyu menilai, dengan tren kenaikan harga minyak, wajar kalau sektor energi juga naik termasuk gas alam dan batubara. "Minyak bisa naik, batubara ikutan, bahkan lebih kuat dari minyak
power up-nya," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Kamis (3/12).
Baca Juga: Kontainer langka, biaya ekspor impor membengkak Selain itu, dukungan kenaikan harga batubara juga ditopang fundamental spesifik yakni faktor musiman. Jelang musim dingin di akhir tahun, permintaan terhadap batubara diyakini bakal meningkat, termasuk dari konsumen terbesar seperti China. Di samping itu, China turut memegang kendali pada pergerakan komoditas hitam satu ini. Wahyu mengatakan, harga batubara tidak bisa terlalu tinggi dan juga terlalu rendah. Ketika harga terlalu tinggi, itu tentunya akan mengancam konsumen energi atau listrik, begitu juga sebaliknya saat harga terlalu rendah maka akan mengancam sisi produsen, perusahaan tambah dan sektor keuangan yang terkait dalam dukungan modal. Untuk itu, National Dispute Resolution Chamber (NDRC) akan menjaga harga melalui intervensi ataupun manajemen isu terkait batubara. Di sisi lain, beberapa variabel atau sentimen lainnya juga ikut menjadi sorotan lantaran mampu jadi penggerak harga batubara ke depan. Antara lain isu lingkungan atau
clean energy, kondisi musiman, kebijakan ekspor impor, hingga isu perang dagang. Wahyu mengatakan, nasib produsen akan tertekan dan bakal mengurangi
supply untuk menjaga pasokan tetap rendah ketika harga anjlok. Alhasil, kondisi tersebut juga mampu memicu kenaikan harga karena permintaan tetap atau bahkan bisa kembali naik. Sedangkan saat harga naik, produsen seperti China, Australia, dan Indonesia cenderung bersemangat karena harga cukup bagus untuk ekspor.
Baca Juga: Terkerek permintaan global, HBA Desember naik jadi USS$ 59,65 per ton. Adapun terkait isu politik AS, Wahyu memandang ada ruang bagi Negeri Paman Sam untuk menekan penggunaan batubara dan beralih pada penggunaan energi ramah lingkungan atau
go green seperti gas alam. Meskipun begitu, tekanan dari isu AS menurut Wahyu masih bisa diimbangi dengan faktor-faktor penopang lainnya. Apalagi, Wahyu menyebutkan hasil analisis dari Wood Mackenzie memprediksi impor batubara China bakal meningkat di Desember 2020. Jumlah tersebut berpotensi naik dari sebelumnya 9,5 juta ton menjadi 20 juta ton di Desember 2020. "Hingga awal tahun, sentimen harga batubara belum akan banyak berubah. Mungkin setelah Januari 2021, ada potensi koreksi pasca-
seasonal winter," ujar dia.
Untuk jangka panjang, Wahyu memprediksi harga batubara akan bergerak pada rentang US$ 40 per metrik ton hingga US$ 120 per metrik ton. Sedangkan konsolidasi tahunan akan ada di US$ 50 per metrik ton hingga US$ 60 per metrik ton. Sementara untuk jangka menengah harga batubara akan bergerak di kisaran US$ 50 per metrik ton hingga US$ 70 per metrik ton. "Saat harga dekat atau di atas US$ 70 per metrik ton, maka bisa
sell on strength. Sedangkan saat di bawah atau mendekati US$ 50 per metrik ton bisa
buy on weakness," pungkas dia.
Baca Juga: Harga batubara acuan naik di akhir tahun, bagaimana prospek di 2021? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati