Harga Batubara Memiliki Potensi Rebound Setahun Mendatang



JAKARTA. Resesi global memang sudah nyata di depan mata. Dus, gelombang tsunami krisis finansial ini pula yang turut mempertegas berakhirnya era bulan madu komoditas batubara. Banderol si emas hitam ini terus meluncur turun. Terakhir, Newcastle Index mencatat harga batubara berada pada level US$ 96 per ton (24/10). Artinya, harga batubara sudah merosot 22,77% dari awal Oktober silam yang seharga US$ 121,77 per ton. 

Dalam risetnya yang dipublikasikan 22 Oktober silam, Andreas Bokkenheuser, analis UBS Securities menegaskan era batubara memang sudah berakhir, tapi hanya untuk saat ini. "Kejatuhan harga minyak dan resesi global akan mengurangi permintaan batubara, dus harganya pun akan ikut melemah," jelas Andreas dalam risetnya.

Karena itu, UBS pun merevisi asumsi harga batubara untuk tahun 2009 dan 2010. "Kami revisi harganya menjadi US$ 125 per ton dan US$ 130 per ton," lanjut Andreas. Sebelumnya, perusahaan sekuritas asing ini memperkirakan batubara akan anteng di harga US$ 160 per ton di tahun 2009, dan US$ 165 per ton pada 2010.


Pelemahan banderol batubara akan terus berlanjut mengingat resesi global sudah pasti membikin permintaan batubara juga ikut susut. Namun, Andreas yakin menyusutnya harga batubara tidak akan berlangsung lama. "Harganya akan rebound dalam 12 sampai 18 bulan ke depan," ujarnya.

Andreas menjelaskan, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kenaikan tersebut. Pertama, ketatnya pasar kredit dan menurunnya pendapatan kemungkinan tidak hanya akan menyusutkan tingkat investasi di sektor energi, tapi juga merembet penurunan produksi tambang. "Supply dan demand sama-sama melambat," tambahnya.

Kedua, demand batubara kemungkinan akan lebih cepat mengalami rebound ketimbang supply-nya. Saat pertumbuhan ekonomi terkerek, permintaan energi dan batubara bakal menemukan momentum kembali untuk bangkit. Persis di saat supply masih begitu ketat, saat itulah harga batubara akan kembali menguat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie