KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA) November 2019 dipatok sebesar US$ 66,27 per ton, atau naik 2,27% dibandingkan HBA Oktober 2019 yang berada di angka US$ 64,8 per ton. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengungkapkan, kenaikan HBA pada November 2019 ini lantaran adanya peningkatan permintaan batubara seiring dengan persiapan musim dingin di sejumlah negara. Baca Juga: Meski serapan DMO baru 58,26%, namun pasokan batubara untuk kelistrikan diklaim aman "Meningkat tipis dibanding bulan lalu karena ada peningkatan permintaan menjelang musim dingin," kata Agung saat ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (5/11). Penetapan HBA ini berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 224 K/30/MEM/2019 tentang harga mineral logam acuan dan harga batubara acuan untuk bulan November tahun 2019. Seperti diketahui, ada empat variabel yang membentuk HBA, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Global Coal Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900 pada bulan sebelumnya dengan bobot masing-masing 25%. Kualitas batubara disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total moisture 8%, total sulphur 0,8% dan Ash 15%. Asal tahu saja, HBA tercatat terus mengalami penurunan sejak September 2018. Sejak saat itu, HBA belum pernah mencatatkan kenaikan bulanan, kecuali pada bulan Agustus dan November ini. Baca Juga: Mitrabara Adiperdana (MBAP) kejar produksi 4 juta ton tahun ini Secara rerata, HBA dalam periode Januari-November 2019 tercatat sebesar US$ 78,94 per ton. Lebih rendah dari rerata HBA periode Januari-November 2018 yang berada di angka US$ 99,55 per ton. Bukan Tanda Rebound Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menilai kenaikan HBA sebesar 2,27% ini belum menjadi sinyal positif bagi rebound-nya harga batubara pada akhir 2019 dan peralihan tahun ke 2020. Menurut Hendra, kenaikan harga ini lebih terjadi lantaran karakteristik komoditas batubara yang memiliki volatail tinggi. Hendra berpendapat, harga batubara yang tidak bisa melesat terjadi karena kondisi pasar yang masih kelebihan pasokan alias oversupply.
Harga batubara naik 2,27%, APBI: Belum menjadi tanda rebound
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA) November 2019 dipatok sebesar US$ 66,27 per ton, atau naik 2,27% dibandingkan HBA Oktober 2019 yang berada di angka US$ 64,8 per ton. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengungkapkan, kenaikan HBA pada November 2019 ini lantaran adanya peningkatan permintaan batubara seiring dengan persiapan musim dingin di sejumlah negara. Baca Juga: Meski serapan DMO baru 58,26%, namun pasokan batubara untuk kelistrikan diklaim aman "Meningkat tipis dibanding bulan lalu karena ada peningkatan permintaan menjelang musim dingin," kata Agung saat ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (5/11). Penetapan HBA ini berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 224 K/30/MEM/2019 tentang harga mineral logam acuan dan harga batubara acuan untuk bulan November tahun 2019. Seperti diketahui, ada empat variabel yang membentuk HBA, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Global Coal Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900 pada bulan sebelumnya dengan bobot masing-masing 25%. Kualitas batubara disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total moisture 8%, total sulphur 0,8% dan Ash 15%. Asal tahu saja, HBA tercatat terus mengalami penurunan sejak September 2018. Sejak saat itu, HBA belum pernah mencatatkan kenaikan bulanan, kecuali pada bulan Agustus dan November ini. Baca Juga: Mitrabara Adiperdana (MBAP) kejar produksi 4 juta ton tahun ini Secara rerata, HBA dalam periode Januari-November 2019 tercatat sebesar US$ 78,94 per ton. Lebih rendah dari rerata HBA periode Januari-November 2018 yang berada di angka US$ 99,55 per ton. Bukan Tanda Rebound Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menilai kenaikan HBA sebesar 2,27% ini belum menjadi sinyal positif bagi rebound-nya harga batubara pada akhir 2019 dan peralihan tahun ke 2020. Menurut Hendra, kenaikan harga ini lebih terjadi lantaran karakteristik komoditas batubara yang memiliki volatail tinggi. Hendra berpendapat, harga batubara yang tidak bisa melesat terjadi karena kondisi pasar yang masih kelebihan pasokan alias oversupply.