KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara nampaknya mulai
rebound pada pekan ini, setelah pekan lalu sempat berada di posisi terendahnya setidaknya dalam tiga bulan terakhir yakni di level US$ 73,50 per metrik ton (5/6). Akan tetapi, analis menilai harga batubara masih dalam tren
bearish. Berdasarkan data
Bloomberg Senin (10/6) pukul 16.33 WIB, harga batubara dalam Ice Newcatle untuk kontrak pengiriman Juli 2019 berada pada level US$ 74,50 per metrik ton, naik sebanyak 0,6% dari catatan akhir pekan lalu yang masih di level US$ 74,05 per metrik ton. Analis Asia Trade Point Futures, Deddy Yusuf Siregar mengatakan harga batubara masih berada dalam tren
bearish. Nyatanya, sepekan harga si hitam melemah 2,74%, bahkan, secara
year to date (ytd) anjlok 23,27% di mana akhir tahun lalu harga batubara di level US$ 97,10 per metrik ton.
Harga batubara naik hari ini, bertepatan dengan data impor batubara China periode Mei naik 8,6% dari bulan sebelumnya menjadi 27,47 juta ton. Bahkan data bea cukai China menunjukkan, impor tersebut merupakan level tertinggi sejak Januari. Mengutip
Reuters, Senin (10/6) impor batubara China naik karena Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PTLU) China meningkatkan pembelian menjelang musim panas. Qianghuangdao Seaborne Coal Market melaporkan stok batubara di enam pembangkit listrik tenaga batubara terbesar di China mencapai 17,9 juta ton, setara dengan konsumsi harian hampir 33 hari. Namun, lemahnya permintaan dari Eropa di tengah pasokan batubara yang meningkat mendorong harga batubara lebih rendah. Deddy menilai data dari China hanya sekadar momentum. Lebih lanjut ia menerangkan, kemungkinan impor batubara China bulan depan akan menurun, seiring dengan kebijakan pemerintah setempat yang hanya ingin menggunakan batubara lokal. Di sisi lain, negara-negara importir batubara Australia dan Indonesia terus meningkatkan produksi. Sayangnya permintaan semakin menipis, setelah Eropa, Jumat (7/6) Mantan Walikota New York City, Michael Bloomberg mengatakan bahwa ia akan berkontribusi US$ 500 juta untuk menutup pembangkit listrik tenaga batubara di seluruh Amerika Serikat (AS) Ke depan ia akan melobi untuk menutup sekitar 250 pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2030 dan membuat AS sepenuhnya tidak tergantung dengan batubara. “Sampai akhir tahun isu
supply dan
demand akan menjadi bayang-bayang batubara,” Kata Deddy kepada Kontan.co.id, Senin (10/6). Kata Deddy daya beli pasar akan menurun terhadap komoditas energi termasuk batubara karena perlambatan ekonomi global. Sehingga energi terbarukan menjadi solusi, tapi untuk mengembangkannya masih butuh waktu panjang. Makanya, Eropa dan AS melakukan gerakan anti batubara secara bertahap. Dia bilang negara
emerging market masih akan menggunakan batubara sebagai pembangkit listrik, sehingga masih ada kemungkinan harga batubara bisa naik. Biarpun permintaannya tidak akan sebanyak China. Deddy memperkirakan harga batubara sampai dengan akhir tahun ini cenderung akan tertekan di kisaran US$ 73-US$ 74 per metrik ton.
Secara teknikal Deddy mengamati indikator
moving average (MA) 50, MA 100, dan MA 200 saat ini bergerak di bawah yang berpotensi
bearish. Sementara,
stochastic di area
oversold berpeluang menguat tipis. Selanjutnya
relative strength index (RSI) di area 20 yang mengindikasikan
rebound terbatas. Kemudian,
moving average convergance divergence (MACD) di area negatif dengan potensi melemah. Untuk besok Deddy meramal harga batubara ada ruang untuk menguat, tapi rawan tertekan. Adapun prediksi harga batubara, Selasa (11/6) di level US$ 73,40-US$ 74,40 per metrik ton. Lebih lanjut, sepekan di kisaran US$ 73-US$ 75 per metrik ton. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi