Harga batubara rebound tapi berpotensi kembali koreksi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara mulai rebound setelah pekan lalu sempat mencapai titik terendahnya. Namun, secara fundamental batubara belum cukup kuat menyokong pergerakan harga.

Berdasarkan data Bloomberg Jumat (21/5) harga batubara dalam Ice Newcatle untuk kontrak pengiriman Agustus 2019 berada pada level US$ 72,15 per metrik ton, menguat sebanyak 2%% dari harga sebelumnya di level US$ 70,70 per metrik ton.

Analis Central Capital Futures, Wahyu Tribowo Laksono mengatakan ada dua alasan mengapa harga batubara rebound. Pertama, karena faktor teknikal harga si hitam sudah oversold pada, Rabu (19/6) berada di level US$ 69,70 per metrik ton yang merupakan titik terendah setidaknya dalam tiga bulan terakhir.


Kedua, karena indeks dollar Amerika Serikat (AS) yang melemah pada akhir pekan lalu setelah sikap The Fed dala the Federal Open Market Committee (FOMC) yang bernada dovish. Maklum, perdagangan batubara menggunakan dollar AS.

Wahyu menegaskan, peluang batubara untuk tetap melaju akan cukup sulit. Sebab kedua sentimen rebound bukanlah dari fundamental batubara. Di mana saat ini ekonomi China dan Australia sedang anyep. Apalagi China mulai memberdayakan batubara domestiknya.

Mengutip Bloomberg, aktivitas pabrik di China melemah pada April dan Mei, terpukul keras oleh perang dagang dengan AS. Sehingga penggunaan batubara di China berkurang 4,9% dalam pembangkit listrik tenaga batubara di Tiongkok pada Mei dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.

“Lemahnya konsumsi batubara terutama karena meningkatnya persaingan dari pembangkit listrik tenaga air dan energi bersih lainnya,” kata Wahtu kepada Kontan.co.id, Senin (24/6).

Commonwealth Bank of Australia (CBA) melaporkan tenaga yang dihasilkan angin di China tumbuh 5,6% dalam lima bulan pertama tahun ini. Begitu pula dengan tenaga listrik tenaga air tumbuh 12,8%.

Kepala Peneliti Noble Resources International, Rodrigo Echeverri pun memproyeksikan impor batubara China akan tetap datar di 2019 atau turun hingga 10 juta ton dari tahun lalu. Alasannya, impor batubara China terlihat pesimistis mengingat perlambatan ekonomi makro Negeri Panda dan output batubara domestik yang kuat.

Nampaknya China semakin percaya diri dengan batubara domestik. Berdasarkan data statistik energi China, pada periode bulan Mei impor batubara China mencapai 5,92 Juta ton, angka ini turun 2,4% year on year (yoy).

Di sisi lain, batubara termal untuk pengiriman September naik 1,1% menjadi 611,2 yuan per ton di Zhengzhou Commodity Exchange, Senin (24/6) waktu setempat, menuju penutupan tertinggi sejak akhir April. Asal tahu saja kontrak Zhengzhou berdasarkan batubara dengan nilai kalori 5.500 kkal per kilogram, sedangkan Newcastle sebesar 6.000 kkal per kilogram.

Wahyu menilai permintaan batubara domestik di China membaik. Masalah perlambatan batubara impor karena Bea Cukai China memperkuat pengawasan atas impor batubara.

Menurut Wahyu ke depan memasuki akhir kuartal III harga si hitam masih bisa menguat, lantaran akan memasuki musim dingin di China dan sejumlah negara bagian Barat. Di mana mereka banyak menggunakan energi batubara untuk stok kebutuhan industri.

Akan tetapi dalam jangka panjang demand batubara di Eropa masih menjadi ancaman koreksi harga. Asal tahu saja, Jerman sudah mendapatkan 40% pembangkit listrik dari energi terbarukan dan telah menargetkan 65% pada tahun 2030. Kemudian, Inggris menetapkan tahun ini untuk menggunakan lebih banyak listrik dari sumber nol-karbon daripada dari pembangkit bahan bakar fosil untuk pertama kalinya.

Wahyu mengatakan secara keseluruhan harga batubara besok masih berpotensi lanjutkan rebound teknikal, tapi secepatnya bakal koreksi lagi.

Dia meramal harga batubara pada perdagangan besok bakal berkutat di rentang support US$ 69,US$ 70,70, US$ 71,50 per metrik ton. Sementara level support antara US$ 71,50, US$ 72,30, dan US$ 72,70 per metrik ton. Sepekan depan Proyeksi Wahyu untuk harga batubara di level US$ 68-US$ 76 per metrik ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi