Harga Batubara Terus Turun, Analis: Harganya Menuju Normal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara terus melanjutkan penurunan. Berdasarkan data barchart.com, harga batubara kontrak pengiriman dengan volume terbanyak, yakni Maret 2023 di bursa ICE Newcastle berada di bawah US$ 200 per ton dalam tiga hari terakhir.

Per Selasa (14/2), harga batubara tersebut berada di US$ 194,5 per ton atau turun 2,14% dalam sehari. Padahal, pada akhir tahun 2022, harga batubara masih berada di sekitar US$ 350 per ton.

Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai, harga batubara berangsur kembali ke harga fundamentalnya. Ia memprediksi, pada akhir tahun 2023, harga batubara kemungkinan akan stabil di level US$ 110 per ton.


"Penurunan harga batubara sangat wajar karena sebelum Covid-19, harga batubara tertinggi hanya sebesar US$ 116 per ton," kata Ibrahim saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (15/2).

Baca Juga: Permintaan Batubara Indonesia Berpotensi Turun, Ini Pemicunya

Menurutnya, harga batubara yang kembali ke level normal disebabkan oleh permintaan dari Eropa yang kini cenderung stabil. Sebagaimana diketahui, saat perang Rusia-Ukraina pecah pada awal tahun 2022, harga batubara melesat hingga sempat berada di atas US$ 400 per ton.

Hal ini disebabkan oleh adanya penghentian ekspor komoditas energi dari Rusia ke Eropa sehingga Benua Biru menghadapi krisis energi. Kondisi ini mengharuskan Eropa mengimpor batubara dari Asia dan Australia sehingga meningkatkan permintaan batubara global.

Eropa kini juga lebih memilih untuk mengimpor batubara dari benua yang lebih dekat, yakni Afrika terutama dari negara Afrika Selatan. Hal ini turut mengurangi ekspor batubara dari kawasan Asia.

Selain itu, China sebagai konsumen batubara terbesar dunia kini meningkatkan produksi batubara dalam negerinya. Kondisi ini membuat suplai secara global meningkat, namun permintaannya turun sehingga turut menekan harga jual.

Untuk tahun 2024, Ibrahim bahkan memprediksi harga batubara bisa berada di bawah US$ 100 per ton. Sentimen penekannya berasal dari perang Rusia-Ukraina yang diperkirakan kian mereda serta penggunaan energi terbarukan yang makin meluas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi