KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite. Hal ini dilakukan karena beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mulai terbatas untuk menambal subsidi BBM. Menanggapi hal tersebut, Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Desy Israhyanti mengatakan, rencana kenaikan harga BBM menjadi kabar yang kurang baik bagi para pelaku pasar. Kebijakan tersebut dapat menjadi sentimen negatif bagi pergerakan pasar saham dalam jangka pendek. Pasalnya, kenaikan BBM akan membebani biaya operasi para perusahaan. Daya beli masyarakat juga akan melemah sehingga permintaan terhadap barang dan jasa berpotensi turun.
Baca Juga: Cek Proyeksi IHSG dan Rekomendasi Saham Pilihan untuk Perdagangan Selasa (16/8) "Kondisi ini pada akhirnya akan menekan margin perusahaan. Pelaku pasar juga akan melihat profitabilitas perusahaan yang menjadi tempat investasinya," kata Desy saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (15/8). Menurutnya, sebagian besar perusahaan akan merasakan dampak kenaikannya karena memerlukan BBM untuk operasional usahanya. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan potensi inflasi, maka sektor usaha yang paling terdampak kenaikan harga BBM adalah sektor barang konsumen non-primer, seperti otomotif dan elektronik. "Pokoknya, yang bukan kebutuhan primer tidak akan jadi prioritas terlebih dahulu karena daya beli melemah sehingga masyarakat bakal fokus memenuhi kebutuhan pokok," ucap Desy. Saat ini, investor cenderung wait and see untuk melihat perkembangan pasar terlebih dahulu. Potensi koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tetap ada dengan support terdekat di 6.900 dan resistance di 7.100. Meskipun begitu, Desy memprediksi koreksi IHSG hanya terjadi dalam jangka pendek. Ketika situasi stabil dan data ekonomi terbaru mendukung, IHSG bakal naik lagi. Bernada serupa, Analis Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan juga melihat potensi koreksi lanjutan IHSG. Dari domestik, kekhawatiran inflasi di dalam negeri nampaknya kembali membayangi. Pasalnya, data terakhir menunjukan kenaikan nilai impor migas hingga 148,38% year on year (yoy) di Juli 2022, meskipun surplus NPI kembali naik ke US$ 4,22 miliar. Hal ini kembali memicu spekulasi kemungkinan penyesuaian harga BBM dan LPG subsidi di Indonesia dalam beberapa bulan ke depan. Meskipun begitu, menurutnya, pasar saat ini masih wait and see. Mengingat, sejauh ini belum ada pernyataan yang jelas dari pemerintah terkait rencana kenaikan harga BBM subsidi. Akan tetapi, jika benar dinaikkan, maka dampak langsungnya adalah peningkatan inflasi seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu setelah kenaikan harga BBM subsidi. Peningkatan inflasi tersebut sangat bergantung dengan besarnya kenaikan harga BBM subsidi. "Inflasi yang tinggi bisa menekan daya beli masyarakat sehingga konsumsi juga turun. Padahal, konsumsi rumah tangga adalah komponen terbesar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia," tutur Valdy.
Baca Juga: Sebelum Lakukan Penyesuaian Harga BBM Subsidi, Ini Kata Para Ekonom Untuk saat ini, Indonesia masih diuntungkan dengan pertumbuhan nilai ekspor yang tinggi yang masih dapat meredam tekanan ke anggaran subsidi. Namun, hal ini tidak bisa berlangsung selamanya karena harga komoditas tinggi juga ada siklusnya. "Saat ini kondisinya memang cukup berisiko. Setiap pegambil kebijakan juga akan lebih berhati-hati dalam memutuskan arah kebijakan ke depan," ucap Valdy.
Menurut Valdy, untuk perdagangan Selasa (16/8), level 7.080 menjadi penentu pergerakan IHSG. Jika bertahan di 7.080, IHSG berpotensi kembali uji resistance 7.150. Sebaliknya, jika koreksi masih berlanjut, perhatikan support terdekat di 7.050. Valdy mengimbau, pelaku pasar sebaiknya selektif dalam beberapa waktu ke depan. Saham-saham properti dan konstruksi bangunan yang menjadi penopang IHSG di Senin (15/8) terindikasi rawan profit taking.
LPKR dan
ASRI masih dapat diperhatikan di Selasa (16/8). Sinyal penguatan lanjutan pada
ADHI dan
FREN, serta potensi rebound pada
TBIG juga dapat diperhatikan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi