JAKARTA. Kredo klasik investasi saham:
high risk high return, masih tetap berlaku. Berinvestasi saham memang menjanjikan untung berlipat. Tapi perlu diingat, tak selamanya masuk ke pasar saham berbuah manis. Salah satu risiko investasi saham tergambar dari kinerja saham emiten anyar yang harganya masih terpuruk dan berada di bawah harga
initial public offering (IPO). Misal, harga saham PT Bintraco Dharma Tbk (CARS) dan PT Nusantara Pelabuhan Handal Tbk (PORT) yang IPO tahun ini masih di bawah harga IPO. Dalam lima tahun terakhir, ada 32 saham yang harganya saat ini di bawah harga IPO. Ke-32 saham tersebut menyusut rata-rata 41%. Harga saham PT Dwi Aneka Jaya Kemasindo Tbk (DAJK) merosot paling dalam, yakni mencapai 89,36%
(lihat tabel). Emiten berkapitalisasi pasar besar juga tak luput dari kinerja saham negatif. Harga saham PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP), yang mencatatkan kapitalisasi pasar senilai Rp 12,65 triliun, kemarin ada di Rp 480 per saham, menyusut 2,04% dibandingkan harga IPO. Masalah likuiditas Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee berpendapat, fenomena saham IPO biasanya hanya naik di awal pencatatan saja. Setelah itu, saham tersebut rawan koreksi. Hal ini tak lepas dari masalah likuiditas. Dia menyebutkan, dari jumlah total saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mencapai sekitar 500 saham, hanya 100 saham yang aktif ditransaksikan. "Biasanya saham yang ingin IPO selalu dipoles agar bisa dilepas dengan harga tinggi. Setelah IPO seharusnya emiten punya program agar saham tetap diminati," ungkap Hans. Hal tersebut bisa emiten lakukan melalui aksi korporasi, laporan pertumbuhan kinerja serta
maintenance harga saham. Secara teori, menurut Hans, banyak saham IPO yang tercatat
under pricing. Sementara itu,
liquidity provider harusnya dipegang oleh penjamin emisi IPO. Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada menyebutkan, ada dua faktor yang membuat harga saham pasca IPO melemah.
Pertama, emiten kurang dikenal oleh publik. Dengan begitu, investor enggan membeli saham tersebut. "Pelaku pasar tidak mendapat informasi yang cukup," ungkap Reza. Ia mencontohkan saham PORT dan BIKA yang kurang dikenal sehingga publik enggan mentransaksikannya. Faktor
kedua, terkait likuiditas. Jika likuiditas tinggi, maka transaksi akan menjadi semakin besar. Demikian sebaliknya, jika likuiditas rendah, maka saham yang diperdagangkan tak akan banyak. Pangkas harga IPO Dua calon emiten, PT Hartadinata Abadi Tbk dan PT Totalindo Eka Persada Tbk, memangkas porsi saham
initial public offering (IPO). Totalindo, misalnya, akan menjual 1,66 miliar saham, 25% dari modal ditempatkan dan disetor penuh. Semula, Totalindo akan melepas maksimal sebanyak 2,15 miliar saham atau 30,07%. Mengacu prospektus yang dipublikasikan Senin (12/6), Totalindo menetapkan harga IPO di rentang bawah, yakni sebesar Rp 310 per saham. Dari aksi IPO ini, Totalindo berpotensi meraup dana senilai Rp 516,46 miliar. Sedangkan Hartadinata Abadi akan menjual 1,1 miliar saham IPO. Jumlah tersebut setara dengan 24% dari modal ditempatkan dan disetor. Sebelumnya, manajemen Hartadinata ingin menjual 30% saham ke publik.
"Penetapan
floating 24% merepresentasikan kadar emas murni yang merupakan bahan baku utama produk kami dan filosofi perusahaan untuk memberikan yang terbaik bagi
stakeholders," ungkap Direktur Utama Hartadinata Abadi, Sandra Sunanto, dalam pernyataan resmi yang diterima KONTAN, kemarin. Tabel: Harga emiten belum balik setelah IPO
Kode Emiten | Tahun IPO | Harga IPO | Harga Kemarin | Perubahan |
CARS | 2017 | 1.750 | 1.615 | -7,71% |
PORT | 2017 | 535 | 480 | -10,28% |
PRDA | 2016 | 6.500 | 4.090 | -37,08% |
WSBP | 2016 | 490 | 480 | -2,04% |
POWR | 2016 | 1.500 | 1.110 | -26,00% |
KINO | 2015 | 3.800 | 2.190 | -42,37% |
IDPR | 2015 | 1.280 | 1.150* | -10,16% |
DPUM | 2015 | 550 | 462 | -16,00% |
BIKA | 2015 | 1.000 | 400 | -60,00% |
GOLL | 2014 | 288 | 127 | -55,90% |
IBFN | 2014 | 288 | 175** | -39,24% |
IMPC | 2014 | 3.800 | 950 | -75,00% |
SOCI | 2014 | 550 | 304 | -44,73% |
BIRD | 2014 | 6.500 | 4.600 | -29,23% |
MGNA | 2014 | 105 | 77 | -26,67% |
CINT | 2014 | 330 | 304 | -7,88% |
DAJK | 2014 | 470 | 50 | -89,36% |
LRNA | 2014 | 900 | 146 | -83,78% |
SIDO | 2013 | 580 | 505 | -12,93% |
IMJS | 2013 | 500 | 306 | -38,80% |
APII | 2013 | 220 | 202* | -8,18% |
CPGT | 2013 | 190 | 50*** | -73,68% |
NAGA | 2013 | 180 | 136 | -24,44% |
ECII | 2013 | 4.050 | 950 | -76,54% |
NRCA | 2013 | 850 | 416 | -51,06% |
SRTG | 2013 | 5.500 | 3.360 | -38,91% |
MPMX | 2013 | 1.500 | 835 | -44,33% |
DYAN | 2013 | 350 | 57 | -83,71% |
ISSP | 2013 | 295 | 230 | -22,03% |
MAGP | 2013 | 110 | 50**** | -54,55% |
HOTL | 2013 | 185 | 124 | -32,97% |
BBRM | 2013 | 230 | 50 | -78,26% |
Keterangan: *Per 9 Juni 2017, **Per 22 Mei 2017, ***Per 28 April 2017, ****Per 5 Juni 2017 Sumber: RTI, riset KONTAN Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia