Harga biodiesel tergantung mekanisme pasar



BALI. Keinginan pengusaha biodiesel untuk bisa mendapat kenaikan harga acuan sepertinya menjadi angin lalu. Kementerian Keuangan (Kemkeu) lebih memilih  pembentukan harga biodiesel berdasarkan mekanisme pasar, melalui skema bussiness to bussiness (B to B). Artinya, produsen biodiesel harus bisa bernegosiasi dengan PT Pertamina atau Perusahan Listirik Negara (PLN) untuk mendapatkan harga yang sesuai.

Pelaksana Tugas (Plt) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu, Bambang PS Brojonegoro, mengatakan, pemerintah tidak perlu menentukan harga acuan karena pedagang lebih paham. Ia juga meyakini, pengusaha biodiesel masih bakal untung walaupun tanpa harga acuan.

Alasannya, penggunaan campuran biodiesel ke solar sebesar 10% merupakan salah satu paket kebijakan anti krisis untuk mengurangi mengurangi defisit transaksi berjalan akibat banyaknya impor minyak. Jika paket kebijakan ini berhasil maka pasar biodiesel di Indonesia akan semakin besar, sehingga dengan sendirinya pasar juga akan menyesuaikan. Pasar biodiesel juga akan semakin besar jika nanti kewajiban campuran biodiesel ke solar naik menjadi 15% atau 20%, atau pada suatu saat 30% seperti di Brazil.


Bambang juga menepis kekhawatiran adanya kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang merupakan bahan baku biodiesel. Kenaikan harga bisa memicu pengusaha untuk lebih memilih menjual CPO ke pasar luar negeri dibandingkan ke perusahaan biodiesel.

"Saya nggak melihat kenaikan harga terjadi dalam jangka pendek ini," kata Bambang, Jumat (20/9). Mengingat, ekonomi dunia masih melemah, sehingga harga komoditas cenderung tetap murah.

Untungkan raksasa

Sekretaris Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan, menganalisa, penentuan harga berdasarkan mekanisme pasar hanya akan menguntungkan perusahaan biodiesel skala besar yang memiliki kebun. Perusahaan raksasa bisa menghasilkan produk dengan harga lebih murah. "Yang bisa bersaing hanya perusahaan raksasa saja, sehingga pemerintah akan membunuh perusahaan kecil tanpa kebun," katanya.

Pengamat Energi dari ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, menambahkan, penerapan mekanisme pasar dalam menentukan harga biodiesel kurang tepat. Mengingat, selama ini harga biodiesel di dalam negeri sangat murah, sehingga pengusaha lebih memilih menjual ke luar negeri. "75% hasil produksi biodiesel nasional diekspor," tandas Pri.

Oleh karena itu, bila kebijakan ini tetap berjalan, Pri ragu Pertamina bisa mendapatkan pasokan.      n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto