KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Bitcoin baru-baru ini mengalami kenaikan hingga mencapai US$ 52.000, level yang terakhir kali dicapai pada akhir tahun 2021. Sebelumnya, Bitcoin mengalami penurunan ringan sebagai respons terhadap rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) Amerika Serikat (AS) yang mengungkapkan tingkat inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan. Bahkan, Bitcoin sempat turun ke US$ 48.484 sebelum kembali ke level saat ini. Mengingat berbagai tantangan yang dihadapi, Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur mengatakan bahwa kenaikan harga Bitcoin menjadi sangat mengejutkan, terutama menjelang peristiwa
halving. Menurut dia, sentimen positif ini sebagian besar didorong oleh peningkatan volume transaksi harian ETF Bitcoin. “Bitcoin telah kembali menembus level US$ 50.000 setelah lebih dari dua tahun, didorong oleh arus masuk yang signifikan dari ETF Bitcoin spot, dengan nilai sekitar US$ 500 - US$ 650 juta per hari, yang berarti sekitar 10.000-13.000 BTC dibeli setiap hari,” ujar Fyqieh kepada Kontan.co.id, Kamis (15/2).
Baca Juga: Bitcoin Lewati US$ 50.000, Kapitalisasi Pasar Tembus US$ 1 Triliun Dia memperkirakan, tren ini akan berlanjut seiring pergeseran likuiditas global ke ETF Bitcoin spot, seperti yang ditunjukkan oleh pengumuman Fidelity tentang alokasi 1%-3% dana kripto dalam ETF mereka. “Arus ini berpotensi mendorong Bitcoin mencapai rekor tertinggi baru menjelang akhir Maret 2024 mendatang,” kata dia. Fyqieh menilai, situasi tersebut juga didukung oleh mayoritas penambang Bitcoin, yang telah berkontribusi pada pembentukan sentimen pasar yang positif, mempengaruhi pandangan investor ritel. Lebih lanjut, dia menyebutkan bahwa data menunjukkan mayoritas penambang Bitcoin saat ini memilih untuk menyimpan aset mereka di dompet pribadi dibandingkan di bursa, yang ditandai dengan penurunan volume transfer Bitcoin dari dompet penambang ke bursa. “Ini menunjukkan preferensi penambang untuk menyimpan aset mereka secara pribadi, bukan di bursa,” kata dia. Fyqieh mengatakan, pada dasarnya pasar kripto sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari situasi makroekonomi hingga regulasi global. Menurutnya, meski Indonesia memiliki lebih dari 18 juta investor kripto, negara ini tidak selalu menjadi fokus utama dalam pergerakan pasar kripto global. Oleh karena itu, dampak pemilu di dalam negeri terhadap pasar kripto mungkin tidak begitu signifikan secara langsung.
Baca Juga: Bitcoin Meroket ke US$50.000, Beri Peluang Investasi Berisiko Tinggi Kendati demikian, dia menuturkan, mengamati dinamika pasar saham domestik, khususnya lonjakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merespons positif terhadap hasil hitung cepat Pemilu 2024, hal ini dapat menjadi indikator optimis bagi pasar kripto lokal. “Seringkali, tren di pasar saham dapat menjadi cerminan bagi pergerakan pasar kripto, menunjukkan kemungkinan adanya momentum positif di lingkup kripto domestik,” kata dia.
Selain itu, dia mengatakan bahwa isu-isu terkait regulasi yang mungkin muncul pasca-pemilu, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, juga dapat mempengaruhi pergerakan harga aset kripto. Pasalnya, pelaku pasar cenderung menahan diri dan menunggu kejelasan terkait regulasi sebelum melakukan keputusan investasi yang besar, termasuk momen Pemilu 2024.
Baca Juga: Bitcoin Halving Diprediksi akan Membuat Harga Naik Mencapai US$59.000 pada Akhir 2024 Dalam hal ini, dia menyarankan para investor kripto dan pelaku pasar untuk tetap waspada terhadap dinamika politik dan regulasi yang mungkin berdampak pada pasar kripto, serta selalu membuat keputusan investasi berdasarkan analisis yang teliti dan strategi yang matang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli