Para pedagang buah di Sentra Buah Pasar Rebo terbilang beruntung. Karena lokasinya tidak jauh dari Pasar Induk Kramat Jati, mereka tidak mengalami kesulitan mendapatkan pasokan buah segar. Mayoritas, buah yang dijajakan di sana dibeli dari pedagang grosir di pasar induk itu.Salah seorang pemilik kios, Junaedi bilang, rata-rata pedagang di Pasar Rebo memasok buah sekitar tiga sampai lima hari sekali. Tergantung pasokan yang masih mereka punya. "Hal ini kami lakukan supaya buah yang dijual tetap segar dan tidak busuk," tuturnya.Namun, Juanedi tidak menyangkal, pembatasan impor buah berimbas pada bisnis mereka. Meski pasokan masih terbilang aman, namun kini harga-harga buah impor melejit. "Kenaikan harganya kadang sudah tak masuk akal," ujarnya.Pemilik Kios Putra Yoga, Ibu Purwanto mengamininya. Ia menyebut, biasanya, harga normal apel impor merah di Pasar Induk Kramat Jati sekitar Rp 300.000 per kardus, dengan berat bersih 18 kilogram (kg). Namun, beberapa pekan terakhir, harganya melonjak menjadi Rp 950.000. Ia pun terpaksa mengerek harga jual. “Normalnya, apel merah kami jual Rp 2.000 per buah. Sekarang, dua kali lipat menjadi Rp 4.000 per buah,” beber Ibu Purwanto.Namun, menaikkan harga tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Harga buah yang kian mahal menyebabkan daya beli masyarakat berkurang. Hal ini terlihat dari menyusutnya omzet harian yang didapat para pedagang akhir-akhir ini. Tak heran, keuntungan bersih yang bisa didapat Ibu Purwanto pun menipis. Jika sebelumnya bisa sampai 20%, sekarang hanya bisa di bawah itu," ucap perempuan yang sudah berjualan sejak 2003 silam ini.Kata Junaedi, lonjakan harga tak hanya terjadi pada buah impor, tapi juga buah lokal. "Selain pengaruh buah impor, ada yang bilang, buah lokal ikutan mahal karena beberapa buah sedang tidak musim," katanya.Ia mencontohkan, sekarang sedang tidak musim buah duku. Jadi, ia membeli satu peti duku berisi 13 kg seharga Rp 200.000. Padahal, dulu, jika tidak sedang musim duku sekalipun, harga duku masih sekitar Rp 100.000 per peti.Alhasil, kini Junaedi rata-rata hanya bisa mengantongi untung bersih 10%. "Sulit bisa dapat untung 20%. Hanya sesekali jika sedang musim buah tertentu," ucapnya.Padahal, kata Junaedi, pada medio 1990-an, tak sulit ia mengambil keuntungan di atas 20%. Sekarang, penjualan juga tidak sebagus tahun-tahun sebelumnya. Lonjakan harga buah lokal dan impor menyebabkan kiosnya tak seramai dulu. Buah-buahan yang cepat laku pun rata-rata buah-buahan kecil, seperti duku. “Buah kecil cepat laku karena dimakan sebagai sebagai camilan,” ujarnya.Selain harga, para pedagang juga dihadapkan pada masalah kelayakan stok. Tak jarang, mereka harus membuang beberapa buah dari dalam peti atau kardus. "Biasanya ada beberapa yang tidak dapat kami jual, karena sudah tidak layak," imbuh Junaedi. Memang, saat para pedagang membeli buah dalam kemasan kardus atau peti, hanya bisa melihat buah yang berada di bagian atas. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Harga buah melesat, untung kurang segar (2)
Para pedagang buah di Sentra Buah Pasar Rebo terbilang beruntung. Karena lokasinya tidak jauh dari Pasar Induk Kramat Jati, mereka tidak mengalami kesulitan mendapatkan pasokan buah segar. Mayoritas, buah yang dijajakan di sana dibeli dari pedagang grosir di pasar induk itu.Salah seorang pemilik kios, Junaedi bilang, rata-rata pedagang di Pasar Rebo memasok buah sekitar tiga sampai lima hari sekali. Tergantung pasokan yang masih mereka punya. "Hal ini kami lakukan supaya buah yang dijual tetap segar dan tidak busuk," tuturnya.Namun, Juanedi tidak menyangkal, pembatasan impor buah berimbas pada bisnis mereka. Meski pasokan masih terbilang aman, namun kini harga-harga buah impor melejit. "Kenaikan harganya kadang sudah tak masuk akal," ujarnya.Pemilik Kios Putra Yoga, Ibu Purwanto mengamininya. Ia menyebut, biasanya, harga normal apel impor merah di Pasar Induk Kramat Jati sekitar Rp 300.000 per kardus, dengan berat bersih 18 kilogram (kg). Namun, beberapa pekan terakhir, harganya melonjak menjadi Rp 950.000. Ia pun terpaksa mengerek harga jual. “Normalnya, apel merah kami jual Rp 2.000 per buah. Sekarang, dua kali lipat menjadi Rp 4.000 per buah,” beber Ibu Purwanto.Namun, menaikkan harga tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Harga buah yang kian mahal menyebabkan daya beli masyarakat berkurang. Hal ini terlihat dari menyusutnya omzet harian yang didapat para pedagang akhir-akhir ini. Tak heran, keuntungan bersih yang bisa didapat Ibu Purwanto pun menipis. Jika sebelumnya bisa sampai 20%, sekarang hanya bisa di bawah itu," ucap perempuan yang sudah berjualan sejak 2003 silam ini.Kata Junaedi, lonjakan harga tak hanya terjadi pada buah impor, tapi juga buah lokal. "Selain pengaruh buah impor, ada yang bilang, buah lokal ikutan mahal karena beberapa buah sedang tidak musim," katanya.Ia mencontohkan, sekarang sedang tidak musim buah duku. Jadi, ia membeli satu peti duku berisi 13 kg seharga Rp 200.000. Padahal, dulu, jika tidak sedang musim duku sekalipun, harga duku masih sekitar Rp 100.000 per peti.Alhasil, kini Junaedi rata-rata hanya bisa mengantongi untung bersih 10%. "Sulit bisa dapat untung 20%. Hanya sesekali jika sedang musim buah tertentu," ucapnya.Padahal, kata Junaedi, pada medio 1990-an, tak sulit ia mengambil keuntungan di atas 20%. Sekarang, penjualan juga tidak sebagus tahun-tahun sebelumnya. Lonjakan harga buah lokal dan impor menyebabkan kiosnya tak seramai dulu. Buah-buahan yang cepat laku pun rata-rata buah-buahan kecil, seperti duku. “Buah kecil cepat laku karena dimakan sebagai sebagai camilan,” ujarnya.Selain harga, para pedagang juga dihadapkan pada masalah kelayakan stok. Tak jarang, mereka harus membuang beberapa buah dari dalam peti atau kardus. "Biasanya ada beberapa yang tidak dapat kami jual, karena sudah tidak layak," imbuh Junaedi. Memang, saat para pedagang membeli buah dalam kemasan kardus atau peti, hanya bisa melihat buah yang berada di bagian atas. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News