Harga CPO diprediksi bakal tetap tinggi, saham emiten CPO bisa jadi pilihan investasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mirae Asset Sekuritas Indonesia memprediksi, harga jual crude palm oil (CPO) yang tinggi akan berlanjut sampai dengan kuartal I-2022. Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Hariyanto Wijaya mengatakan, ada beberapa faktor yang mendorong hal ini terjadi.

Pertama, secara historis, produksi CPO bulanan di Malaysia akan mencapai puncak pada bulan September-Oktober. Setelah periode itu, tren produksinya akan turun.

Oleh sebab itu, Hariyanto memperkirakan, produksi CPO Malaysia akan berangsur turun mulai bulan depan sehingga memengaruhi jumlah inventaris CPO. Menurut dia, saat pasokan CPO rendah, maka harga jualnya akan meningkat, begitu juga sebaliknya.


Faktor kedua terkait dengan adanya potensi permintaan dari negara konsumen CPO terbesar di dunia, yakni China dan India. Hariyanto menyampaikan, inventaris CPO di kedua negara tersebut tengah berada di level yang rendah.

Baca Juga: Window dressing sudah dimulai, simak saham-saham blue chip yang menarik diburu

China memiliki inventaris CPO sebanyak 418.000 ton, sementara India mencatatkan persediaan edible oil 1,7 juta ton. "Rendahnya investaris CPO di kedua negara ini akan memacu impor dan selanjutnya bakal mendukung harga jual CPO," kata Hariyanto dalam acara Indonesia Investment Education yang berlangsung secara virtual, Sabtu (9/10).

Faktor pendorong ketiga naiknya harga CPO berasal dari dalam negeri. Menurut Hariyanto, konsumsi CPO di Indonesia akan semakin tinggi seiring dengan adanya program pencampuran bahan bakar minyak dengan minyak turunan CPO untuk membuat biodiesel. 

Sebagai gambaran, harga CPO sepanjang tahun 2021 memang menunjukkan tren kenaikan. Per perdagangan Jumat (8/10), harga CPO kontrak pengiriman Desember 2021 berada di level RM 4.966 per ton.

Harga ini sudah meningkat 75% dibanding harga CPO per akhir tahun 2020 yang sebesar RM 2.834 per ton. Harga tersebut juga menjadi level tertinggi sepanjang tahun 2021 berjalan.

"Menurut view saya, level tertinggi harga spot CPO Malaysia bisa mencapai RM 5.400 per ton pada saat produksi bulanan CPO turun di bulan- bulan mendatang," ungkap Hariyanto saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (10/10).

Terkait dengan sahamnya, Hariyanto memprediksi, laporan keuangan kuartal III-2021 para emiten bakal menjadi katalis positif bagi saham-saham CPO. Pasalnya, harga CPO yang bertahan di level tinggi sejak Juli 2021 akan membuat kinerja keuangan pada kuartal III-2021 menjadi super bagus.

Kenaikan harga jual CPO bakal turut meningkatkan average selling price (ASP) emiten yang pada akhirnya berefek positif ke laba bersih. Menurut perhitungan Hariyanto, biasanya, perubahan ASP sebesar 1% akan berpengaruh ke perubahan laba bersih 2%-3%.

Dengan melihat potensi kenaikan ini, Hariyanto menilai, saham-saham CPO saat ini bisa menjadi pilihan bagus untuk berinvestasi. Terlebih lagi, menurut dia, valuasi saham-saham CPO saat ini masih tergolong murah.

Hal itu terlihat dari forward price earnings ratio (PER) yang lebih rendah dari rata-rata PER dalam lima tahun terakhir. Sebagai contoh, forward PER saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) adalah sebesar 11 kali, lebih rendah dari rata-rata PER yang sekitar 15 kali.

Begitu juga dengan saham PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) yang masing-masing memiliki forward PER 10 kali dan 6 kali. Ini lebih rendah dari rata-rata PER 5 tahun terakhir yang sebesar 14 kali dan 11 kali.

"Dengan begitu, masih ada potensi kenaikan harga karena forward PER masih di bawah rata-rata PER 5 tahunan," ucap Hariyanto.

AALI dan LSIP dipilih karena tergolong big caps dan sahamnya likuid. Kedua perusahaan ini juga bergerak di segmen hulu industri kelapa sawit sehingga lebih berpeluang memperoleh keuntungan yang optimal seiring dengan naiknya harga CPO.

Sementara, DSNG dipilih karena sahamnya terus dibeli investor asing dalam beberapa hari terakhir. Harapannya, arus masuk dana asing ini akan konsisten sehingga dapat terus mendorong kenaikan harga DSNG.

Selanjutnya: GAPKI: Ekspor produk minyak sawit melonjak akibat krisis energi di India dan China

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat