Harga CPO Diprediksi Fluktuatif di Tahun Depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) masih menghadapi sejumlah tantangan. Potensi rebound terbuka, tetapi harga CPO diprediksi fluktuatif di tahun depan.

Founder Traderindo.com Wahyu Triwibowo Laksono memaparkan, harga CPO di sepanjang tahun ini sempat terbang dipicu kecemasan geopolitik terkait energi dan pangan. Utamanya, konflik Rusia dan Ukraina memberikan ruang penguatan bagi CPO karena krisis yang menimpa kedua negara tersebut.

Walaupun perang masih berlangsung, sentimen negatif muncul terkait ancaman resesi global. Salah satunya dipicu oleh agresivitas The Fed menerapkan kebijakan suku bunga tinggi.


Hal itulah yang kemudian berdampak pada pelemahan banyak aset seperti bursa global termasuk Wall Street, mata uang utama dunia, hingga harga komoditas termasuk CPO.

"Arus balik dari dampak pengetatan suku bunga memang mengancam komoditas. Padahal, pengetatan suku bunga juga berisiko menuju resesi atau bahkan berlanjut ke krisis ekonomi yang lebih buruk," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Kamis (24/11).

Baca Juga: Harga CPO Masih Lesu, Intip Prospeknya di Tahun Depan

Bahkan, saat ini ada pergeseran kecemasan dari inflasi menjadi resesi. Kondisi ini dinilai dapat menekan permintaan komoditas CPO. Mulanya CPO terkendala isu supply chain menjadi isu over supply yang dimaknai sebagai less demand atau permintaan yang lebih rendah.

Logikanya, Wahyu menjelaskan, apabila harga komoditas energi melemah maka bakal berujung pelemahan juga bagi CPO. CPO yang merupakan bahan baku pembuatan biodiesel bisa menjadi substitusi minyak mentah. Sehingga, ketika harga minyak mentah turun, harga CPO pun ikut turun.

Kendati demikian, ada sedikit ruang bagi komoditas CPO untuk menguat sebelum tutup tahun ini. Secara fundamental, laporan panen untuk bulan Oktober diperkirakan bearish karena produksi akan meningkat lebih lanjut selama bulan tersebut. Dengan demikian, bakal ada peningkatan stok minyak sawit Malaysia di bulan Oktober.

Wahyu menduga, produksi minyak sawit Malaysia pada bulan Oktober akan sebesar 2%-6% lebih tinggi dari produksi bulan September. Sementara ekspor terlihat dalam kisaran 1,43 juta ton hingga 1,48 juta ton.

Baca Juga: Kontribusi Indonesia di Produksi Minyak Sawit Dunia Besar

Adapun gangguan pasokan minyak sawit karena badai tropis di produsen utama yakni Indonesia dan Malaysia diperkirakan akan berlanjut hingga kuartal pertama 2023, sehingga bisa menjaga harga CPO.

"Keseimbangan penawaran dan permintaan akan terpengaruh oleh pergeseran pola cuaca, situasi tenaga kerja, volatilitas mata uang dan ketidakstabilan kebijakan dan geopolitik," papar Wahyu.

Wahyu menuturkan, harga minyak sawit yang rendah dalam beberapa bulan terakhir telah mendorong negara-negara pengimpor minyak sawit utama seperti China dan India untuk meningkatkan kegiatan pengisian minyak sawit. 

Negara-negara tersebut menghasilkan tingkat persediaan minyak nabati lebih tinggi yang menunjukkan potensi terbatas untuk pengisian yang lebih agresif.

Faktor lainnya yang masih menekan harga CPO ialah langkah China dengan kebijakan nol-covid. Saat ini, pasar tengah menunggu China untuk mencabut kebijakan itu agar memicu reli komoditas.

Baca Juga: Intip Prospek Sektor CPO Beserta Rekomendasi Sahamnya

"Langkah tersebut dapat memicu siklus bullish pada komoditas terutama logam industri dan energi yang telah mengalami investasi rendah dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, juga untuk mencapai keseimbangan permintaan-pasokan," imbuh dia.

Jadi semuanya dianggap masih belum bisa memastikan perbaikan harga CPO. Dimana kondisi ketidakpastian global sangat memungkinkan memicu fluktuasi harga.

Mulai dari ancaman inflasi, agresivitas The Fed dan penguatan dollar AS, hingga konflik geopolitik masih ada walaupun telah diantisipasi. Maka dari itu, Wahyu mencermati dalam jangka pendek dan menengah harga CPO wajar apabila berada di level RM 4.000 sebagai level konsolidasi.

Tahun depan, harga CPO diprediksi berkisar RM 2.500-RM 5.000 per ton. Jika harga bawah level RM 4.000 maka saatnya untuk buy on weakness. Namun, jika harga di atas level 5000 menjadi waktu untuk sell on strength.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati