KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekspor komoditas pertambangan menjadi salah satu andalan untuk mendongkrak kinerja neraca dagang Indonesia. Timah, menjadi bagian dari komoditas mineral yang memberi kontribusi positif dengan tren harga dan pasar yang diprediksi akan kian bergairah. Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengungkapkan, kendati pada tahun 2018 harga timah sangat dipengaruhi oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China, namun harga komoditas ini masih terjaga di level yang wajar. Irwandy menilai, harga timah sepanjang tahun ini juga masih akan bergantung pada konflik kedua negara adikuasa tersebut, meski dalam beberapa bulan terakhir tren harga menunjukkan pergerakan yang positif. "Menguatnya harga timah seiring dengan pelemahan dollar AS, yang menjadi kabar baik bagi negara-negara pengguna mata uang
non dollar karena dapat membuat pasaran logam industri menjadi lebih murah," kata Irwandy saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (21/4).
Irwandy mengatakan, harga timah berada pada tren yang positif pada kuartal awal tahun ini. Jika dibandingkan dengan Desember 2018, harga timah berada pada kisaran US$ 19.259 per metrik ton, dan naik menjadi US$ 20.457 per metrik ton pada Januari 2019. Sebulan berselang, harga kembali melejit ke angka US$ 21.263 per metrik ton, dan menjadi US$ 21.393 per metrik ton pada Maret 2019. Tak hanya timah, sambung Irwandy, tren harga yang meninggi juga terjadi pada komoditas mineral lainnya, seperti nikel dan juga seng. "Pertumbuhan di awal tahun 2019 ini menunjukkan signal positif ke depannya, khususnya untuk harga ketiga komoditas tersebut," terangnya. Khusus komoditas timah, Irwandy mengungkapkan bahwa kenaikan harga saat ini juga didukung oleh sentimen optimis para investor yang masih menunggu perkembangan lebih lanjut dari hasil perundingan perdagangan AS dan China. Namun, hal tersebut akan mempengaruhi permintaan dan konsumsi komoditas timah. Selain perang dagang anara AS dan China, sambung Irwandy, kondisi pasar timah juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro dari negara-negara berkembang yang memiliki banyak industri elektronik, yang merupakan salah satu sektor pengguna timah terbesar. "Jadi tingkat permintaan timah pada tahun ini tetap mengalami pertumbuhan namun mungkin tidak secepat tahun sebelumnya" ungkap Irwandy. Kendati demikian, Irwandy melihat Indonesia memiliki peluang besar untuk mengisi pasar timah dunia. Apalagi, menurut US Geological Survey tahun 2017, cadangan mineral timah Indonesia ebrada pada peringkat ke-2 jika dibandingkan dengan total cadangan dunia. Adapun, perusahaan yang memanfaatkan peluang tersebut salah satunya ialah PT Timah Tbk. Buktinya, sepanjang Kuartal I tahun ini, emiten plat merah berkode
TINS , anggota indeks
Kompas100 ini, berhasil menorehkan catatan yang melebihi target, baik dari segi produksi maupun penjualan. Direktur Keuangan TINS Emil Ermindra mengungkapkan, sepanjang periode Januari hingga Maret 2019, TINS mampu memproduksi sekitar 21.600 ton stannum (Sn) bijih timah. Artinya, rata-rata produksi bijih timah TINS setiap bulan mencapai 7.000 ton Sn. Emil menyebut, angka tersebut meroket 261% di atas target dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2019, dan lebih tinggi hingga 389% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018. Sejalan dengan itu, volume produksi logam TINS juga mengalami kenaikan. Emil bilang, sepajang Kuartal I ini, TINS memproduksi logam sekitar 16.300 metrik ton atau rata-rata mencapai 5.400 metrik ton per bulan. Menurut Emil, pencapaian tersebut mencapai 318% dari target RKAP 2019 atau setara dengan 304% dari pencapaian produksi periode yang sama pada tahun sebelumnya. "Dengan demikian, rencana pemenuhan pangsa pasar Indonesia dalam ekspor timah dunia sebesar 60.000 metrik ton dapat tercpai dan kemungkinan lebih besar," ujar Emil saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (21/4). Kenaikan produksi tersebut sejalan dengan tingginya volume penjualan. Sepanjang kuartal I-2019, realisasi penjualan TINS sebesar 12.590 metrik ton atau rata-rata 4.200 metrik ton per bulan.
Capaian itu lebih tinggi 155% dari target dalam RKAP dan tumbuh sebesar 217% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Dengan hasil tersebut, lanjut Emil, pendapatan dari penjualan ekspor TINS dalam kuartal I ini mencapai Rp 4,26 triliun atau melejit sekitar 155% dari target dalam RKAP dan tumbuh 200% dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Emil menjelaskan, hasil itu didapat dari harga jual rata-rata yang sebesar US$ 21.500 per metrik ton logam timah dengan kurs rata-rata terhadap dollar AS hingga bulan Maret yang sebesar Rp 14.090. Meski harga tersebut realtif sama dengan rata-rata pada tahun lalu, namun Emil yakin, pasar dan harga timah akan bergerak ke level positif di sepanjang tahun ini. "Kami yakin situasi pasar timah internasional tetap tumbuh dan harga cenderung stabil atau bahkan naik," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .