KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana divestasi 11% saham PT Vale Indonesia Tbk (
INCO) sebagai kewajiban perpanjangan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) akan dihitung berdasarkan
fair market value atau harga pasar yang wajar. Dalam Peraturan Menteri (Permen) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 9 Tahun 2017 Pasal 14 Ayat (1) nilai saham yang dilepas INCO dihitung berdasarkan harga pasar yang wajar tidak memperhitungkan cadangan mineral pada dilaksanakannya penawaran divestasi saham. Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat menjelaskan
fair market value merupakan salah satu cara menghitung efek yang akan ditransaksikan. Dalam metode ini harga saham ditentukan berdasarkan perhitungan mendalam, khususnya pada potensi dan prospek bisnis ke depannya.
Adapun kedua belah pihak yang bertransaksi akan membawa penilainya masing-masing untuk menentukan nilai saham yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Baca Juga: Manajemen Vale Indonesia (INCO) Buka Suara Soal Kepemilikan 20% Saham Publik Dalam kasus divestasi INCO, pihak penilai dari pemerintah dapat memberikan gambaran mengenai nilai saham yang dibeli, akankah sepadan dengan prospek bisnis dan kinerja INCO ke depannya. Sedangkan penilai dari pihak INCO juga memberi gambaran perihal kemampuan pemerintah membayar harga saham yang ditawarkan. “Menghitung
fair market value tentu tidak berdasarkan harga nilai pasar (saham) INCO, tetapi lebih kepada nilai aset bersih, kemampuan mencetak laba, dan lebih dalam lagi seperti harga nikel ke depan dan dampaknya bagi kinerja INCO. Intinya, memperhitungkan segala kemungkinan, baik itu keuntungan dan risiko bisnis ke depan,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (12/6). Salah satu alasan nilai divestasi saham INCO tidak bisa dihitung dari
market value atau nilai pasar sahamnya saja karena pergerakan saham sangat fluktuatif. Maka tidak ideal sebagai basis perhitungan.
Dengan menggunakan metode
fair market value, pemerintah Indonesia dan Vale dapat melakukan negosiasi untuk memperoleh kesepakatan nilai yang diharapkan menguntungkan kedua belah pihak. Namun, pelaksanaan negosiasi untuk mencapai nilai yang saling menguntungkan tidaklah mudah. Teguh melihat, negosiasi yang berlangsung bisa cukup panjang dan lama untuk memperoleh harga yang terbaik. Menurut Teguh, ada kemungkinan besar nilai divestasi 11% yang ditawarkan Vale Indonesia akan tinggi. Maka itu menurut Teguh, permintaan MIND ID yang ingin menjadi pengendali mayoritas Vale Indonesia dengan meminta divestasi 20% saham kurang realistis. “MIND ID membeli 11% saham Vale Indonesia yang dibeli dengan harga tinggi, itu saja sudah bagus. Tetapi kalau mau mendapatkan lebih misalnya 20% tentu akan sulit karena berhubungan dengan politik luar negeri. Terlebih INCO dimiliki Brazil, Canada, dan Jepang,” jelasnya. Teguh melihat, setelah proses konsolidasi INCO ke MIND ID rampung, dalam jangka pendek Vale Indonesia belum bisa memberikan dampak positif yang signifikan bagi holding perusahaan tambang Indonesia ini.
Baca Juga: Soal Divestasi Vale Indonesia (INCO), Ini Kata Menteri ESDM Pasalnya, pemerintah belum memiliki saham mayoritas sehingga tidak leluasa mengendalikan kebijakan perusahaan. Termasuk memaksa INCO membuat smelter nikel yang lebih hilir selain Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), misalnya saja bisa memproduksi hingga kobalt atau baterai kendaraan listrik.
Lantas untuk sumber pendanaan akuisisi, menurutnya Teguh MIND ID tidak bisa serta-merta memanfaatkan dana internalnya karena dikhawatirkan memberatkan keuangan Perusahaan. “Kinerja MIND ID sekarang diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas seperti batubara, nikel, dan timah. Tapi akankah itu cukup? Sepertinya belum cukup,” kata Teguh. Dibutuhkan pendanaan eksternal untuk memenuhi kebutuhan akuisisi ini, bisa dari pendanaan dari pemerintah atau menerbitkan obligasi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari