Harga emas hitam naik, emiten pengguna batubara catat kenaikan beban



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Batubara menjadi komoditas tambang yang pergerakan hargnya moncer sepanjang tahun ini. Mengutip data Bloomberg, harga batubara berada di level ICE Newcastle untuk kontrak September 2021 berada di level US$ 148,60 per ton pada perdagangan Rabu (4/8).

Kenaikan harga batubara ini tentu menjadi angin segar bagi emiten yang bergerak di sektor batubara dan yang terkait dengan batubara. 

PT United Tractors Tbk (UNTR) misalnya, sampai dengan Juni 2021, mencatatkan volume penjualan alat berat Komatsu sebanyak 1.361 unit atau melesat 60% dari periode akhir Juni 2020 sebanyak 853 unit.


“Penjualan pada semester pertama didorong oleh penguatan harga komoditas khususnya di pertambangan,” terang Sara K Loebis, Sekretaris Perusahaan United Tractors kepada Kontan.co.id, baru-baru ini.

Tidak hanya di segmen alat berat, kinerja UNTR di segmen perdagangan batubara juga moncer. Melalui anak usahanya, PT Tuah Turangga Agung (TTA), UNTR mengempit pendapatan Rp 7,5 triliun atau naik 23% secara tahunan. Kenaikan pendapatan ini seiring dengan peningkatan penjualan dan meningkatnya rata-rata harga jual batubara.

Total penjualan batubara TTA sepanjang enam bulan 2021 mencapai 6,3 juta atau naik 12% dari periode yang sama tahun 2020 sebesar 5,6 juta ton.

Baca Juga: Harga Saham Batubara Sulit Menguat Lantaran Tertekan Sentimen ESG

Namun, bak pisau bermata dua, kenaikan harga batubara ini menjadi beban tambahan tersendiri bagi emiten yang menggunakan batubara sebagai sumber energi, salah satunya emiten semen.

PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) misalnya, mencatatkan kenaikan beban pokok pendapatan sebesar 6,44% menjadi Rp 4,57 triliun. Salah satu komponen yang mengalami kenaikan adalah bahan bakar dan listrik, yang naik 14,16% menjadi Rp 1,83 triliun.

Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Antonius Marcos mengatakan, biaya energi mengalami kenaikan terutama akibat kenaikan harga batubara. Pada semester I-2021, sebanyak 43% dari total biaya produksi berasal dari biaya energi.

Meskipun biaya energi mengalami kenaikan terutama akibat kenaikan harga batubara, Marcos menyebut sejumlah strategi cukup berhasil menjaga kinerja INTP. Strategi yang dilakukan seperti coal mixing (mencari campuran harga batubara terefisien), pengoperasian pabrik yang semakin efisien, program efisiensi di segala bidang yang dilakukan, serta volume penjualan yang lebih besar membuat laba usaha INTP meningkat tajam sebesar 69%.

PT Vale Indonesia Tbk (INCO) juga menjadi emiten yang terbebani dengan kenaikan harga batubara. Batubara digunakan  INCO untuk mengeringkan bijih nikel dan sebagai reductant dalam proses kalsinasi

Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan, batubara masih menjadi salah satu sumber energi dalam proses produksi INCO, seperti halnya high sulphur fuel oil (HSFO). Pada tahun 2021, kedua komoditas ini mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan.

Tentu saja, kenaikan harga dua komoditas ini mendorong kenaikan biaya produksi, yang kemudian akan mengurangi laba produksi INCO. Namun, Irmanto meyakini kenaikan harga komoditas energi ini akan tertutupi kinerja INCO yang apik, yang terdorong kenaikan komoditas nikel sebagai dagangan utama INCO.

“Di tahun 2021, harga nikel juga sedang baik, jadi kami masih bisa membukukan kinerja keuangan yang baik,” terang Irmanto kepada Kontan.co.id, Kamis (5/8). 

Selanjutnya: Skenario Penutupan Tambang Batubara di Pasar Global

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi