KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga energi berpotensi naik seiring tren peningkatan sejumlah komoditas pembentuk harga energi. Sebagai contoh, PT Pertamina memastikan bakal menyesuaikan harga LPG nonsubsidi menyusul peningkatan harga Contract Price Aramco (CPA) LPG yang terus meningkat sepanjang tahun 2021. Apalagi, harga LPG nonsubsidi belum mengalami penyesuaian sejak 2017 silam. Selain itu, dalam upaya mendorong penyediaan BBM ramah lingkungan, pemerintah berencana menghapuskan BBM jenis Premium dan ke depannya terus mendorong penggunaan BBM yang lebih tinggi RON-nya.
Sementara itu, dari sektor kelistrikan, pemerintah berencana melakukan penyesuaian tarif listrik (tariff adjustment) untuk 13 golongan pelanggan nonsubsidi yang tarifnya telah ditahan sejak 2017 lalu. Akan tetapi, penyesuaian ini direncanakan baru akan dilakukan di semester II 2022 dengan mempertimbangkan dampak dari pandemi covid-19.
Baca Juga: Harga Komoditas Terus Naik, Subsidi Energi Diperkirakan Membengkak Hingga Tahun 2022 Menanggapi ini, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, kenaikan harga BBM dan LPG sejatinya tidak begitu mempengaruhi kegiatan operasional industri. Menurutnya, mayoritas bahan bakar yang digunakan untuk operasional yakni solar untuk transportasi pengiriman keramik dan kendaraan forklift. Akan tetapi, dampak yang mungkin timbul lebih kepada aspek nonoperasional. "Namun tentunya penghapusan Premium dan penyesuaian harga LPG nonsubsidi akan mempengaruhi daya beli masyarakat," kata Edy kepada Kontan.co.id, Selasa (28/12). Edy menyebutkan, dampak yang lebih mungkin terasa yakni dari kebijakan penyesuaian tarif listrik untuk 13 golongan pelanggan nonsubsidi. Ia menilai, kebijakan ini bisa mengurangi daya saing industri keramik dan membebani kinerja. "Apalagi saat ini industri keramik sedang berupaya untuk rebound kembali di tengah daya beli masyarakat yang masih lemah," kata Edy. Jika pemerintah memutuskan kembali menerapkan
tariff adjustment maka langkah ini dinilai kurang sejalan dengan semangat untuk meningkatkan daya saing industri yang sebelumnya telah ditunjukkan lewat penetapan harga gas US$ 6 per MMBTU untuk sektor industri dan pembangkit. Selama ini, biaya listrik memegang porsi setidaknya 10% dalam komponen pembentuk harga industri keramik.
Edy bilang, industri keramik secara umum berproduksi 24 jam sehari. Untuk itu, pihaknya pun berharap pemerintah melanjutkan kebijakan diskon tarif listrik di Waktu Beban Puncak 2 (WBP2). "Namun sangat disayangkan mulai Januari 2021 diskon tarif untuk pemakaian listrik mulai jam 23.00 hingga jam 08.00 sudah dihentikan dan otomatis ini berarti kenaikan harga tarif listrik secara tidak langsung bagi industri keramik," kata Edy.
Baca Juga: Simak Tanggapan Pelaku Usaha Jasa Pengiriman Terkait Potensi Kenaikan Biaya Energi Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat