JAKARTA. Musim panen raya padi tahun ini dikhawatirkan menjadi cerita pilu bagi petani. Sebab, musim panen raya padi kali ini dihantui oleh anjloknya harga gabah di tingkat petani. Harga gabah saat ini menjadi momok yang menakutkan bagi petani karena berada di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 3.750 per kilogram Gabah Kering Panen (GKP). Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia mengatakan, pihaknya telah banyak menerima laporan dan keluhan dari para petani terkait anjloknya harga gabah.
"Berbagai anggota kita mengatakan memang seperti itu (anjlok), seperti di Rembang kemarin sempat Rp 1.800 per kilogram, tapi sekarang sudah agak naik menjadi Rp 2.200 sampai Rp 3.000," ungkapnya kepada
Kompas.com, Selasa (21/2). Henry menegaskan, hal ini terjadi akibat pembangunan pertanian di Indonesia belum menyentuh pembangunan kelembagaan ekonomi petani. "Dalam hal ini misalnya peran dari koperasi-koperasi petani itu tidak ditumbuhkan," tegasnya. Menurutnya, saat ini pemerintah hanya mendorong kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan), yang sebenarnya tidak memiliki sisi kelembagaan ekonomi untuk membeli atau menyerap hasil produksi petani. "Kalau ada koperasi setidaknya bisa membantu membeli gabah-gabah ini ketika panen besar," ungkapnya. Selain itu, Henry menegaskan, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas dan juga kemampuan Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam menyerap gabah petani. "Jadi pemerintah tidak punya daya sanggup untuk membeli gabah petani ditambah kelembagaan ekonomi petani juga belum ada," jelasnya.
Ke depan, pihaknya berharap agar pemerintah menguatkan tugas pokok dan fungsi Bulog sebagai operator dalam menyerap gabah petani dan juga menumbuhkan kelembagaan ekonomi petani. Pemerintah telah mengeluarkan regulasi yaitu Inpres Nomor 5 Tahun 2015 yang mengatur tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah di tingkat petani sebesar Rp 3.750 per kilogram GKP. Regulasi tersebut dikeluarkan agar HPP gabah ditingkat petani tidak terlalu rendah yang menyebabkan petani merugi dan malas untuk berproduksi kembali. (Pramdia Arhando Julianto) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia