KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pelaku industri mulai dilanda kekhawatiran. Sebab, baru-baru ini Kementerian ESDM telah melakukan penyesuaian harga gas bumi untuk sejumlah sektor industri tertentu. Perubahan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 91.K/MG/01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Kepmen ini berlaku mulai 19 Mei 2023 sekaligus menggugurkan aturan sebelumnya pada Kepmen ESDM Nomor 134.K/HK.02/MEM.M/2021. Terdapat 7 sektor industri yang merasakan kenaikan harga gas ini antara lain industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, kenaikan harga gas bumi tertentu dapat terjadi lantara kondisi masing-masing lapangan migas yang semakin tua, sehingga membutuhkan biaya produksi yang lebih besar. Aturan penyesuaian harga gas industri ini bersifat mengikat bagi para pelaku usaha.
Baca Juga: Kenaikan Harga Gas Dikhawatirkan Mengurangi Daya Saing Industri Keramik Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, kenaikan harga BBM pada 2022 lalu ditambah kenaikan harga gas bumi bulan Mei ini tentu akan berdampak langsung terhadap lonjakan biaya produksi keramik. Ini mengingat komponen biaya energi mencapai kisaran 30% terhadap total biaya produksi keramik. Para produsen keramik tentu akan berupaya mencari cara efisiensi yang baru di tengah belum pulihnya daya beli masyarakat dan derasnya produk impor di dalam negeri. “Tidak memungkinkan bagi kami untuk membebankan kenaikan biaya produksi tersebut kepada pelanggan,” ujar Edy, Jumat (16/6). Sejauh ini penerapan harga gas murah belum berdampak optimal bagi industri keramik, terutama di Jawa Timur. Sebab, pada kuartal I-2023, produsen keramik di Jawa Timur dikenakan Alokasi Gas Industri Tertentu (AGIT) 65%. Akibatnya, selama periode tersebut produsen keramik di sana harus membayar pemakaian gas sekitar US$ 6,3-US$ 6,5 per MMBTU. Padahal, kebijakan penyesuaian harga gas industri belum diberlakukan oleh pemerintah. Masalah tersebut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja industri keramik secara nasional. Ini terlihat dari rata-rata utilisasi produksi keramik nasional yang berada di level 75% pada kuartal I-2023, atau lebih rendah dari rata-rata utilisasi produksi keramik sepanjang tahun lalu yakni sekitar 78%. Ekspor keramik pun turun cukup dalam mencapai kisaran 40% pada tiga bulan pertama 2023. Sebaliknya, impor keramik meningkat 0,5%. Dalam aturan terbaru, harga gas untuk industri keramik di Jawa Timur naik menjadi US$ 6,32 per MMBTU. Jika industri keramik di provinsi tersebut masih dikenakan AGIT 65%, maka pihak produsen harus membayar gas yang dipakainya sekitar US$ 6,8-US$ 7 per MMBTU. “Kenaikan harga gas industri harus dibarengi oleh perbaikan kelancaran pasokan gas tersebut, terutama untuk produsen keramik di Jawa Timur,” jelas Edy. Ketua Umum Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia (Akida) Halim Chandra mengatakan, kenaikan harga gas jelas akan menambah beban para pebisnis kimia di tengah kelesuan permintaan dan kondisi pasar yang tak menentu. Di sisi lain, Akida tetap bersikap realistis dan menganggap bahwa pemerintah memiliki kajian yang mendalam ketika hendak menyesuaikan harga gas industri. Kendati demikian, Akida meminta adanya kepastian pasokan gas setelah harganya dinaikkan. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, ketersediaan gas dengan harga khusus untuk industri kimia sering tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. "Akibatnya, kami harus membayar sebagian biaya pemakaian gas dengan harga normal sekitar US$ 10,5 per MMBTU," ungkap Halim, Jumat (16/6).
Baca Juga: Kenaikan Tarif Gas Murah Berdampak Pada Daya Saing Pelaku Usaha Petrokimia Dalam kondisi normal, total konsumsi gas di kalangan perusahaan kimia anggota Akida sekitar 45.000 MMBTU per tahun. Akida berharap kebijakan baru ini dapat membuat industri kimia bertahan di tengah persaingan pasar yang ketat. Masalah yang dihadapi industri ini adalah maraknya barang impor, baik berupa bahan baku maupun produk jadi yang dihargai murah. Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Edi Rivai mengaku, kenaikan harga gas industri bakal mengurangi daya saing para produsen petrokimia di dalam negeri. Namun, Inaplas tetap menerima keputusan pemerintah. "Karena sudah menjadi Kepmen, maka perlu komitmen pemenuhan kelancaran suplai gas yang sesuai kuota di semua daerah," tutur dia, Jumat (16/6). Sampai saat ini, seluruh anggota Inaplas tetap menjalankan bisnis secara normal di tengah ketatnya persaingan pasar akibat banjir barang dan bahan baku plastik impor dari China dan Korea. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .