Harga kapas dunia melejit, asosiasi jamin tidak ada kenaikan harga di konsumen



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menjamin tak akan ada kenaikan harga di tingkat konsumen meski harga kapas internasional sebagai bahan baku impor sedang melonjak tinggi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan penggunaan kapas dalam beberapa tahun terakhir telah mampu disubstitusi oleh serat lain seperti polyester dan viscose. Dengan begitu, industri hulu dalam negeri telah mampu memenuhi kebutuhan domestik akan polyester dan viscose. Selain itu, kemacetan suplai bahan baku mendorong integrasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dari hulu ke hilir.

"Integrasi industri tekstil kita lumayan membaik sehingga tidak khawatir dengan kondisi dunia yang carut-marut. Kami menjamin tidak ada kenaikan harga yang signifikan di hilir," ujar Redma dalam konferensi pers yang berlangsung virtual, Jumat (15/10).


Sebagai informasi, ketersediaan bahan baku impor juga telah menjadi tantangan terbaru industri seiring krisis energi di India dan China. Selain itu, harga kapas di pasar dunia juga telah mencapai angka tertinggi dalam satu dekade.

Baca Juga: India hentikan pengenaan BMAD serat rayon asal Indonesia

Berdasarkan catatan APSyFI, harga kapas saat ini mencapai US$ 2,28 per kilogram, sedangkan polyester US$ 1,16 per kilogram dan rayon sebesar US$ 1,8 per kilogram. Harga bahan baku pengganti seperti polyester dan rayon relatif lebih murah dibanding kapas.

Dalam situasi normal atau stabilnya harga di pasar internasional, kapas dipatok pada angka US$1,2 per kg, polyester pada posisi US$0,9 sampai US$1 per kilogram dan rayon sebesar US$1,2 per kilogram yang sudah bisa dihasilkan dalam negeri.

Sementara itu, konsumsi serat dalam negeri, pada 2008 konsumsi serat nasional mencapai 1,87 juta ton dengan konsumsi serat kapas sebesar 37% dan rayon hanya 11%. Kemudian pada 2019, konsumsi serat nasional mencapai 2,15 juta ton dengan konsumsi serat kapas yang sudah menurun menjadi 28% dan konsumsi serat rayon menjadi 17%.

"Jadi pangsa pasar kapas di dalam negeri itu semakin lama semakin mengecil dan disubstitusi oleh rayon dan polyester. Ini yang membuat kita tidak khawatir dengan adanya kenaikan harga kapas karena memang trennya sudah bisa kita subtitusi perlahan," kata Redma.

Namun demikian, Redma beserta sejumlah pelaku bisnis tekstil lainnya meminta agar pemerintah segera turun tangan mengintervensi ketersediaan pasokan batu bara untuk industri sekaligus keterjangkauan harganya.

"Saat ini momen yang tepat bagi pemerintah untuk mengintervensi ketersediaan bahan baku agar kita tidak lagi bergantung memenuhi bahan baku secara impor. Kami membutuhkan bantuan Pemerintah di bagian tersebut," ucapnya.

Sebagai informasi, pada akhir September lalu, harga kapas berjangka melonjak melampaui US$ 1 per pon untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade terakhir.  Lonjakan harga dipicu cuaca buruk dan hambatan pengiriman.

Dilansir dari Bloomberg, harga kapas melonjak 28% sepanjang tahun ini karena permintaan yang tinggi terutama dari Cina, ditambah dengan gangguan pasokan akibat pandemi dan gangguan logistik yang dipicu oleh naiknya biaya pengiriman.

Lonjakan harga ini dikhawatirkan akan berpengaruh kepada naiknya harga pakaian jadi seperti celana jeans, kaos, dan produk pakaian jadi lainnya.

Selanjutnya: Indorama (INDR) tambah kapasitas produksi benang pintal polyester menjadi 13.000 ton

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat