KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penetapan harga karbon dinilai masih rendah. Hal tersebut dilihat masih bertentangan dengan rencana pemerintah mengurangi emisi karbon. Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Parada memperkirakan, harga karbon yang akan ditetapkan berada di rentang US$ 2 - US$ 18 per ton CO2. Harga terserbut setara Rp 30 ribu - Rp 270 ribu (dengan asumsi kurs Rp 15.000). Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting menilai, harga tersebut sebenarnya cukup rendah jika dibandingkan dengan negara lain yang lebih dulu menggunakan skema ini. Dicontohkan, Singapura menetapkan harga karbon sebesar S$5,36 per ton CO2e atau sebesar Rp 59.000 (asumsi kurs Rp11.000).
Bahkan, harga karbon di Korea Selatan mencapai US$ 30 per ton CO2e atau sebesar Rp 450 ribu. "Artinya, perkiraan harga karbon di Indonesia masih terlalu rendah," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (21/7).
Baca Juga: Redam Jejak Karbon, Bank Mandiri Luncurkan Kartu daur ulang pertama di Indonesia Pius menuturkan, rendahnya harga karbon menjadi kontradiktif dengan target Indonesia untuk pensiun dini dari batu bara. Sebab, perdagangan karbon justru berpeluang memberikan justifikasi untuk meneruskan PLTU dengan membeli kuota karbon jika melewati batas emisi yang ditentukan. Ia pun menilai terdapat beberapa tantangan jika regulasi yang dikeluarkan pemerintah belum matang, serta kurang pengawasan dan transparansi dalam pelaksanaannya. Pertama, belum ada regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk membuka jumlah emisi karbon yang dihasilkan. "Selama ini, data jumlah emisi karbon milik perusahaan dan PLTU tidak bisa diakses oleh publik sehingga sulit untuk memperkirakan berapa jumlah karbon yang harus dibayar oleh perusahaan," paparnya. Kedua, perusahaan berpotensi lebih memilih membeli karbon dibandingkan membangun proyek hijau seperti pembangkit listrik tenaga energi terbarukan. Pius menilai, solusi untuk mengatasi perubahan iklim akan semakin baik apabila perdagangan karbon di Indonesia dilakukan bersamaan dengan aksi-aksi lainnya untuk mengurangi jejak karbon. Misalnya, pajak karbon, peningkatan portofolio hijau, dan transisi energi ke energi terbarukan.
Baca Juga: Siapkan Bursa Karbon, OJK Gandeng Kementerian LHK Alih-alih hanya mendorong aturan perdagangan karbon, pemerintah seharusnya juga fokus mempercepat implementasi pajak karbon (
carbon tax) yang diatur dalam UU No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pasalnya, sejak diresmikan pada akhir 2021 pemerintah telah menunda penerapan aturan ini sebanyak dua kali hingga 2025 mendatang. Berkaca dari penerapan pajak karbon di Singapura sejak 2019, pajak karbon sudah diterapkan pada 80% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) atau di 50 fasilitas sektor manufaktur, pembangkit listrik, limbah, dan air. Harga yang ditetapkan pemerintah Singapura mencapai S$5 per ton CO2e dan direncanakan naik secara berkala menjadi S$25 pada 2024-2025, S$45 pada 2026-2027, hingga S$50 - S$80 di 2030.
Disebutkan, dalam lima tahun penerapan pajak karbon di Singapura, pemerintah berhasil mendapat pemasukan S$1 miliar atau setara Rp 14 triliun. Dana ini selanjutnya akan digunakan kembali untuk program dekarbonisasi dan transisi ekonomi hijau yang salah satu sasarannya adalah penelitian dan pengembangan untuk solusi perkotaan yang berkelanjutan melalui sistem Solar Photovoltaic (PV) dan teknologi rendah karbon. Karenanya, Pius menyarankan pemerintah perlu menentukan harga karbon yang sesuai. "Harga karbon tersebut tidak boleh terlalu murah agar dapat memberikan perubahan perilaku bisnis bagi industri. Selain itu, pemerintah juga harus memiliki mekanisme perdagangan karbon yang jelas untuk menghindari keberadaan greenwashing oleh industri," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto