Harga karet ciut, Kirana tak agresif



JAKARTA. Harga karet yang belum membaik dan terus melorot membuat perusahaan pengolah karet remah atau crumb rubber tak sembrono menargetkan produksi tinggi pada tahun depan.  Misalnya Kirana Megatara, hanya memproyeksi produksi tahun 2015 hanya 500.000 ton–520.000 ton. Target itu relatif sama dengan tahun ini.

Asal tahu saja harga karet remah di pabrik Kirana Megatara saat ini berada di kisaran Rp 16.000 per kilogram (kg) dengan tingkat kekeringan 50%. Sementara harga rata-rata pembelian karet dari petani adalah Rp 5.000 per kg.

Mayoritas bahan baku karet pabrik Kirana Megatara memang berasal dari petani rakyat. Nah, anjloknya harga karet itu membuat pasokan bahan baku dari petani ke Kirana Megatara seret. "Para petani karet enggan menyadap dan lebih memilik menjadi bekerja ke tempat lain seperti buruh," terang Johanes Candra, Direktur Kirana Megatara Grup, belum lama ini.


Harga karet remah saat ini memang berada di kisaran  murah yakni sekitar US$ 1,5 per kilogram (kg)-US$ 1,6 per kg. Bila dibandingkan dengan tahun lalu, perusahaan itu masih bisa melepas karet remah di harga US$ 2 per kg. Sementara pada tahun 2011, Kirana Megatara bahkan sempat melepas produknya di harga US$ 5,6 per kg.

Padahal Kirana Megatara sudah ngebet pengen mengoptimalkan semua utilisasi pabriknya yang mencapai satu juta ton karet remah per tahun. Utilisasi pabrik itu adalah gabungan dari 15 unit pabrik yang tersebar di Sumatra dan Kalimantan.

Semua produksi  di 15 unit pabrik itu ditujukan untuk pasar ekspor. Setidaknya, ada 10 pabrik pengolahan ban internasional yang telah menjadi langganan dari Kirana Megatara. Sebut saja Bridgestone, Michelin dan Goodyear.

Apa lacur, harga karet yang masih melemah diperkirakan bakal mengganjal niatan perusahaan itu mencapai jumlah produksi maksimal sejuta ton karet remah dalam waktu dekat. Walhasil, "Kami ingin produksi satu juta ton dapat dicapai dalam lima tahun ke depan," kata Johanes.

Sebelumnya, Martinus S. Sinarya Presiden Direktur Kirana Megatara mengatakan, akibat anjloknya harga karet, manajemen perusahaan itu memprediksi pendapatan tahun ini US$ 1 miliar–US$ 1,25 miliar. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan target awal sebesar US$ 1,5 miliar. 

Meski begitu, perusahaan itu tak gentar berekspansi. Tahun ini saja, perusahaan yang menjadi bagian dari Triputra Group itu menganggarkan belanja modal sekitar Rp 400 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk penanaman pohon karet baru, perawatan kebun, dan pembangunan pabrik. "Masih 100% sesuai rencana," kata Martinus.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anastasia Lilin Yuliantina