Harga Komoditas Energi Bisa Terdampak Pecahnya Perang Israel-Palestina



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga komoditas energi bakal kian panas apabila pecahnya perang Israel dan Palestina baru-baru ini ditanggapi serius. Perang bisa memicu terbatasnya pasokan, terkendalanya pengiriman hingga timbulnya sanksi perdagangan.

Pengamat komoditas Lukman Leong melihat, harga komoditas energi seperti minyak dunia, batubara, dan gas alam akan menilai lebih lanjut eskalasi perang dan respon dari Arab. Jika Arab dan negara sekutu lainnya memberikan sanksi, maka harga minyak mentah dunia akan melonjak.

Hal itu berpotensi mengulang krisis minyak tahun 1973 yang menyebabkan harga minyak melambung saat Arab Saudi dan kelompok negara pengekspor minyak menerapkan embargo minyak terhadap Israel.


“Namun saat ini sebenarnya masih terlalu dini untuk memprediksi lebih lanjut dampak perang terhadap harga energi,” jelas Lukman kepada Kontan.co.id, Minggu (8/10).

Baca Juga: Harga Minyak Naik, Tapi Mencatat Penurunan Mingguan Terbesar Sejak Maret

Sebaliknya, Lukman menegaskan, perang justru bisa memberikan sentimen negatif pada ekonomi dunia yang akan berimbas pada harga minyak menjadi lebih rendah. Pengecualian pada perang Rusia-Ukraina karna Rusia merupakan produsen utama minyak dunia.

Menurut Lukman, harga komoditas energi lebih dipengaruhi isu supply dan demand dalam jangka pendek. Harga minyak mentah akan terus didukung oleh kontrol produksi oleh OPEC+, dan batubara masih susah untuk kembali naik tinggi karna ekonomi China yang mengecewakan.

Sementara itu, harga gas alam Eropa masih tertekan oleh ekspektasi suhu yang lebih hangat, dan kapasitas penyimpanan yang telah melewati 96%. Namun harga gas alam US justru meningkat oleh turunnya produksi.

“Saat ini kekhawatiran pekerja Chevron di Australia yang akan kembali mogok kerja membuat harga gas alam kembali naik,” ujar Lukman.

Lukman memperkirakan harga gas alam AS di akhir tahun bisa berkisar US$3.5 mmbtu. Sementara batubara sekitar US$ 120 per ton – US$ 140 per ton dan minyak mentah WTI di posisi US$ 85 per barel.

Founder Traderindo.com. Wahyu Tribowo Laksono memandang harga komoditas energi masih sangat potensial naik, walaupun batu bara dan minyak tengah mengalami koreksi. Lonjakan harga minyak mentah dunia tentunya bakal berdampak pada komoditas energi lainnya seperti gas alam.

Wahyu menyoroti, permintaan gas alam diproyeksikan mencapai rekor baru pada musim  dingin ini. Hanya saja, penyimpanan yang cukup, produksi yang lebih tinggi, serta  perlambatan ekonomi kemungkinan akan membebani harga gas alam AS.

Dalam Outlook Musim Dingin 2023-2024, Asosiasi Pemasok Gas Alam (NGSA) memperkirakan penyimpanan natgas sebesar 3,7 triliun kaki kubik (tcf), lebih tinggi dibandingkan musim dingin lalu yang sebesar 3,5 tcf.

Selain itu, kebijakan Amerika Serikat bisa berdampak pada komoditas energi. Kubu Demokrat bisa saja mengubah kebijakan lebih pro lingkungan sehingga mendukung harga gas alam seperti zaman Obama.

“Kebiasaan di akhir tahun seperti November dan Desember, lonjakan drastis harga gas alam bisa saja terjadi saat tren rebound komoditas energi. Ditambah lagi adanya dorongan spekulatif terhadap gas alam,” jelas Wahyu kepada Kontan.co.id, Jumat (6/10).

Baca Juga: ICP September 2023 Naik Lagi, Ditetapkan US$ 90,17 Per Barel

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat