KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2022 dapat dikatakan sebagai tahunnya komoditas energi seiring harganya yang tercatat terus mengalami kenaikan. Batubara misalnya, pada 4 Februari kemarin berada di level US$ 227,30 per ton. Padahal, pada akhir tahun, harganya hanya berada di US$ 145,65 per ton. Artinya, secara
year to date, si batu hitam ini telah menguat hingga 56,06%. Tak jauh berbeda, komoditas energi lainnya, minyak dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) pada 4 Februari sudah berada di level US$ 93,31 per barel. Tercatat, minyak dunia sudah menguat 23,28% dari US$ 74,88 pada akhir 2021.
Sementara gas alam sudah berhasil naik 28,37% secara ytd karena saat ini sudah berada di level US$ 4,57 per mmbtu. Adapun, pada akhir tahun lalu, harga gas alam masih berada di level US$ 3,56 per mmbtu.
Baca Juga: Didukung Fundamental, Tren Penguatan Harga Komoditas Energi Akan Berlanjut Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengungkapkan, alasan fundamental menguatnya ketiga harga komoditas itu adalah kondisi
supply dan
demand yang tidak seimbang. Ia mencontohkan, untuk batubara, pasokan sempat terhambat ketika Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar memutuskan tidak melakukan ekspor pada Januari kemarin. “Ketika produksi tak optimal dan
supply yang ketat, dari sisi permintaan justru terus meningkat karena ternyata musim dingin yang lebih panjang dari perkiraan. Ketidakseimbangan inilah yang buat harganya naik,” kata Ibrahim kepada Kontan.co.id, Jumat (4/2). Sementara untuk minyak dunia, Ibrahim menyebut kondisinya tidak jauh berbeda. Dari sisi produksi, anggota OPEC+ belum menambah kuota produksi hariannya, padahal permintaan terus mengalami kenaikan. Hal ini karena para produsen masih khawatir dengan penyebaran Omicron di beberapa negara sehingga tidak mau terburu-buru menambah produksi. Ia menambahkan, kenaikan harga komoditas energi, khususnya minyak dan gas alam juga tidak terlepas dari adanya ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang tak kunjung mereda dalam beberapa hari terakhir.
Baca Juga: Harga Minyak Mencapai Tertinggi Sejak 2014 Kendati begitu, Ibrahim menilai kenaikan harga ini hanya bersifat sementara alias jangka pendek saja. Menurutnya, dengan Indonesia yang sudah membuka keran ekspor, lalu China juga terus memompa produksi domestik, seharusnya
supply tidak akan lagi ketat. Musim dingin juga diekspektasikan akan segera berakhir. Selain itu, ketegangan antara Rusia dan Ukraina seharusnya tidak akan berkepanjangan dan segera berakhir. Alhasil kekhawatiran di pasar seharusnya juga akan segera mereda. “Ketika
supply dan
demand mulai seimbang, harga akan kembali melandai dan normal lagi. Pada paruh kedua tahun ini, harga komoditas energi sudah tidak akan setinggi saat ini,” tutup Ibrahim. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi