Harga Komoditas Menanjak, Emiten Mana Saja yang Terdampak?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Buntut eskalasi antara Rusia dengan Ukraina membuat harga sejumlah komoditas menanjak. Dua diantaranya yakni batubara dan minyak bumi.

Tak pelak, kondisi ini diyakini bakal berdampak ke sejumlah emiten. Andreas Yordan Tarigan, Analis Henan Putihrai Sekuritas menilai, harga batubara yang tinggi tentu akan dapat sangat berdampak ke margin perusahaan semen seperti PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP). Ini karena batubara merupakan salah satu komponen biaya terbesar.

Namun untuk SMGR sendiri, Andreas menyebut emiten pelat merah ini sudah mengamankan batubara dengan skema domestic market obligation (DMO) sekitar 1 juta ton dan masih ada sisa pasokan (inventory) tahun kemarin. Dus, sampai  kuartal pertama ini harga batubara tidak akan berdampak parah. Namun di sisi lain, lINTP disebut belum berhasil mendapat kuota DMO Januari.


Dengan melihat kondisi saat ini Andreas menilai kemungkinan besar harga jual semen akan dinaikkan. Apalagi, tahun lalu harga jual juga sudah mulai naik pada kuartal keempat. Tentu, implementasi kebijakan ini harus melihat reaksi kompetitor masing-masing.

Baca Juga: Dibayangi Tekanan Margin, Analis Pertahankan Rating Buy untuk JPFA

Sementara itu, harga batubara yang tinggi juga bisa memberatkan perusahaan tambang nikel seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Sebab, harga batubara yang tinggi dapat menaikkan biaya. Akan tetapi, margin INCO dinilai tidak terdampak jikalau harga komoditas nikel juga ikut naik.

Andreas mengatakan, Rusia kurang lebih menyumbang 11% suplai nikel dunia. Dus, jika terdapat sanksi yang dikenakan terhadap Rusia tentu akan berdampak pada harga nikel. Misalkan, harga batubara rata-rata tahun ini sekitar US$ 230 per ton dan harga minyak rata-rata sekitar US$100 per ton. Jika harga nikel rata-rata naik sampai US$ 23.600 per ton dari US$ 18.200 per ton di tahun lalu, maka EBITDA margin juga tetap akan terjaga di sekitar 35% seperti tahun lalu.

“Ditambah lagi, INCO juga punya hydro powerplants yang mengurangi penggunaan bahan bakar fosil mereka,” terang Andreas kepada Kontan.co.id, Senin (7/3).

Strategi INCO

Dihubungi secara terpisah, Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan, kenaikan harga batubara harus disikapi dengan hati-hati. Untungnya, dryer dan kiln milik Vale didesain dengan dual burner, yakni untuk minyak dan batubara. “Kalau harga batubara sudah terlalu tinggi, salah satu opsi adalah menggantinya dengan minyak,” terang Irmanto, Senin (7/3).

Memang ada beberapa penggunaan batubara (sebagai reductant) yang tidak bisa diganti dengan minyak. Dalam hal ini, INCO memperketat penggunaan dan meningkatkan efisiensi. “Jadi tim saat ini mempersiapkan semua aspek kalau kami sewaktu-waktu harus switch ke minyak,” sambung Irmanto.

Baca Juga: Berpotensi Catatkan Kinerja Apik, Ini Rekomendasi Saham SRTG dari Sucor Sekuritas

Sepanjang tahun lalu, INCO mencatatkan kenaikan harga rata-rata batubara sebesar 62% menjadi US$ 159,73 dari sebelumnya US$ US$ 98,83.  Meski demikian, konsumsi batubara INCO menurun menjadi 374.937 ton dari sebelumnya 426.429 ton. Penurunan ini berbarengan dengan penurunan pemakaian high sulfur fuel oil (HSFO) dan diesel, sejalan dengan volume produksi nikel matte yang lebih rendah.

Tak hanya berdampak ke komoditas energi

Selain kenaikan komoditas energi dan logam, konflik Rusia dan Ukraina juga mendorong kenaikan harga sejumlah komoditas lunak seperti gandum dan CPO. Dalam risetnya tertanggal 24 Februari 2022, Analis BRI Danareksa Sekuritas Natalia Sutanto mengatakan, gangguan rantai pasokan komoditas lunak kemungkinan akan mendorong kenaikan harga pangan.

Editor: Tendi Mahadi