Harga Komoditas Merah, Mana yang Paling Menarik?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mayoritas harga komoditas turun dan diperkirakan tekanan pada harga masih berlanjut hingga awal tahun depan. Namun sejumlah logam industri dinilai mampu rebound didorong stimulus ekonomi pemerintah China dan kesulitan pasokan.

Berdasarkan data Trading Economics, sektor energi, tercatat harga minyak WTI turun 1,58% ke US$ 69,22 per barel pada Senin (11/11) pukul 18.25 WIB. Penurunan itu mengakumulasi pelemahan harga 3,08% dalam sepekan.

Masih dari energi, harga gas alam dan batubara tercatat naik, masing-masing sebesar 6,09% dan 0,81% ke US$ 2,83 per MMBtu dan US$ 143,35 per ton. Namun dalam sepekan, batubara turun 0,42%.


Dari logam mulia, emas turun 0,72% ke US$ 2.665 per ons troi, sehingga mengakumulasi pelemahan 2,56 dalam sepekan. Sementara perak naik 0,22%, tetapi masih mengakumulasi pelemahan 3,18% sepekan.

Baca Juga: Trump Menang Pilpres AS, Komoditas Apa Yang Diuntungkan?

Untuk logam industri, aluminium turun 1,22% ke US$ 2.598 per ton, timah melemah 0,53% ke US$ 31.648 per ton dan nikel turun 0,42% ke US$ 16.259 per ton, tetapi dalam sepekan nikel naik 0,47%. Adapun untuk tembaga di pasar LME tercatat turun 2,18% ke US$ 9.433,5 per ton pada Jumat (8/11).

Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong mengatakan, dua faktor utama yang menekan harga komoditas yaitu dari Amerika Serikat (AS) dan China. Dari AS didorong dolar AS yang masih menguat oleh sentimen dari kemenangan Trump dalam pilpres.

"Hal ini tentunya menekan harga-harga komoditas yang pada umumnya dipatok dalam dolar AS," ujar Lukman kepada Kontan.co.id, Senin (11/11).

Dari China, data inflasi yg lebih rendah memicu kekhawatiran akan permintaan yang juga lemah. Menurutnya, stimulus lima tahun sebesar US$ 1,4 triliun dianggap investor masih kurang dapat memberikan dorongan pada ekonomi.

Baca Juga: Trump Memang Pilpres, Mayoritas Harga Komoditas Merah

Lukman berpandangan bahwa harga komoditas masih akan tertekan tahun ini hingga tahun depan. Namun semuanya masih bisa berubah, apabila Trump tidak seagresif menaikkan tarif impor seperti yang dijanjikan dalam pemilu.

"Walau demikian, menurut saya stimulus China bagaimanapun akan berimbas positif pada permintaan beberapa logam industri, hanya masalah waktu sebelum efek dari stimulus mulai terasa," sebutnya.

Adapun logam-logam yang menarik menurut dia adalah tembaga, aluminium dan timah. Ketiganya saat ini sedang mengalami kesulitan pasokan dan ketiganya merupakan logam yang diperkirakan akan paling mendapatkan manfaat dari stimulus, terutama karena perhatian utama pemerintah China adalah membenahi sektor properti yang paling membebani ekonomi saat ini.

Namun memang, hingga akhir tahun kemungkinan harga ketiga logam itu belum akan rebound secara signifikan, tetapi downside diperkirakan sudah akan terbatas.

Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Tambang dan Energi Usai Donald Trump Menang Pilpres AS

Timah yang masih mengalami masalah produksi di Myanmar, diperkirakan akan berkisar US$ 30.000 per ton -US$ 32.000 per ton di akhir tahun 2024 dan untuk kuartal ke I 2025 di US$ 35.000. Tembaga diperkirakan di US$ 9.600 di akhir tahun dan US$ 10.500 per ton-US$ 11.000 per ton pada kuartal I 2025. Selanjutnya, aluminium yang juga mengalami masalah supply diperkirakan di US$ 2.700 pada akhir tahun dan di kuartal I 2025 di US$ 3.000.

"Harga-harga ini mengasumsikan Trump tidak akan agresif dan hanya menerapkan tarif secara selektif (tidak memicu global trade war) dan khususnya China hanya dikenakan tambahan tidak lebih dari 10% dari tarif yang ada sekarang," terangnya.

Adapun untuk prospek harga energi dinilai agak berat. Sebab masih terdapat sejumlah faktor lain yang mempengaruhi, seperti situasi di Timur Tengah dan kebijakan OPEC+ sehingga secara umum masih akan tertekan.

Selanjutnya: Emiten Pertambangan Emas Pacu Produksi untuk Capai Target Tahun Ini

Menarik Dibaca: Daftar Top Film Netflix Hari Ini, Ipar Adalah Maut Posisi Puncak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati