KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja ekspor di Tanah Air diperkirakan akan mengalami pelemahan. Hal ini sejalan dengan harga komoditas yang juga mengalami koreksi alias turun jika dibandingkan dengan tahun lalu. Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan, meski trennya ekspor tahun ini akan melemah, namun pelemahannya akan terjadi secara bertahap. Hal ini sejalan juga dengan penurunan harga yang juga bertahap dari tahun lalu. “Ekspor akan melemah trennya. Tapi pelemahan pertumbuhannya akan lebih gradual. Sejalan dengan penurunan harga yang juga gradual,” tutur Faisal kepada Kontan.co.id, Selasa (9/5).
Pelemahan ekspor tersebut kata Faisal akan berdampak pada neraca transaksi berjalan tahun ini yang bisa kembali defisit di level -1,1% produk domestik bruto (PDB).
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Berakhir, Pengusaha: Era Baru Kebangkitan Dunia Usaha Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan beberapa harga komoditas ekspor salah satunya
Crude palm oil atau minyak kelapa sawit mentah masih akan mengalami koreksi sepanjang 2023. “Ini mengalami koreksi karena CPO sebagai salah satu substitusi juga dari energi
biodiesel itu menghadapi tantangan dari penurunan ekonomi khususnya di Amerika, kemudian Eropa dan data manufaktur Tiongkok juga menunjukkan adanya koreksi,” kata Bhima. Bhima mengatakan, terkoreksinya harga komoditas tersebut perlu diwaspadai. Selain itu, harga minyak mentah secara global juga mengalami tekanan sehingga batu bara sebagai efek turunannya juga ikut terpengaruh. Kemudian prospek dari nikel yang sebelumnya digadang-gadang akan mengisi rantai pasok dari industri baterai, industri alminium, ternyata masih harus menunggu kabar baik dari pemulihan ekonomi di Tiongkok. “Ini adalah faktor-faktor yang membuat
bonanza komoditas tahun ini sepertinya akan sedikit melandai, akan kembali lagi seperti kondisi tahun 2019. Jadi yang menjadi pertanyaan besar apakah akan
soft landing atau akan
hard landing,” jelasnya. Bhima memperkirakan, jika terjadi
hard landing maka akan berpengaruh kepada surplus perdagangan Indonesia. Dalam perkiraan ini surplus perdagangan yang sebesar US$ 2,9 miliar pada Maret 2023, perkiraannya sepanjang akhir kuartal II 2023 akan menyusut menjadi US$ 1,5 miliar. Perkiraan tersebut menurutnya tidak menutup kemungkinan akan berubah menjadi defisit perdagangan di akhir tahun, sehingga pemerintah perlu lebih waspada lagi. “Terlebih ekspor salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi yang sampai saat ini masih diandalkan, sehingga harus dijaga terus kinerja ekspornya,” tambahnya.
Baca Juga: Jadi Andalan Pertumbuhan Ekonomi RI, Sri Mulyani Berharap Investasi Terus Dipacu Hal yang bisa dilakukan untuk menjaga kinerja ekspor di antaranya, mendorong ekspor dari produk manufaktur, mencari pasar alternatif, membuka atau memfasilitasi calon bayar baru di negara-negara yang potensial. “Kemudian mendorong agar keikutsertaan Expo Indonesia di pasar luar negeri juga meningkat dan perlu inovasi dan peningkatan daya saing bagi eksportir yang akan masuk ke dalam rantai pasok global,” tambahnya. Dengan berbagai upaya tersebut. tahun ini Bhima memproyeksikan total ekspor baik migas dan non-migas akan ada di kisaran US$ 306,4 miliar atau tumbuh 5% dibanding tahun 2022 yang sebesar US$ 291,9 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi