KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Krisis energi yang terjadi di berbagai negara menyebabkan kelangkaan pasokan dan naiknya harga gas serta tarif listrik. Masyarakat juga sulit mendapatkan bahan bakar minyak (BBM). Sementara pasokan komoditas energi terbatas karena produksi belum normal juga akibat pandemi dan faktor cuaca. Chief Economist Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) Budi Hikmat mengungkapkan, krisis energi terjadi karena ada kepanikan terhadap pasokan energi.
"Secara umum permintaan masyarakat pasca pandemi mulai tumbuh, tapi di sisi lain, rantai pasokan belum siap untuk kembali ke level produksi seperti sebelum pandemi," kata Budi, dalam keterangan resmi, Senin (11/10). Misalnya saja, pasokan gas Eropa dari Rusia terganggu, harga batubara di China juga merangkak naik akibat terdampak perselisihan dengan salah satu produsen batubara terbesar yaitu Australia.
Baca Juga: China perluas penghentian produksi tambang batubara, harga melonjak makin tinggi? Tak hanya itu, pasokan dari Indonesia juga terganggu musim hujan dan produsen lokal di China terdampak kebijakan pemerintahnya yang tengah fokus ke energi hijau. Di satu sisi, krisis ini dapat menjadi sentimen negatif bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Tapi di sisi lain dapat memberikan peluang besar bagi Indonesia terutama dari sisi penerimaan negara. Sebagaimana tergambar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mayoritas dikontribusi oleh pendapatan komoditas, hingga Agustus 2021 realisasi PNBP mencapai 93,1% dari target yang ditetapkan di APBN. "Jika kita dapat memaksimalkan komoditas unggulan kita yang saat ini harganya rally, bukan tidak mungkin pada akhir tahun PNBP kita akan melebihi target pemerintah. Tentu ini adalah peluang besar yang dapat kita maksimalkan,” tambah Budi. Seperti data yang dihimpun dari Bloomberg, hingga 3 Oktober 2021, harga beberapa komoditas unggulan Indonesia terus menunjukkan tren naik. Secara year to date (ytd), harga batubara telah naik 180,4%, timah tumbuh 130%, CPO naik 11,4% dan nikel naik 31,6%. "Jika tren kenaikan harga komoditas berlanjut hingga akhir tahun, serta kita dapat mengoptimalisasi peluang ini, bukan tidak mungkin pendapatan negara secara umum di akhir tahun akan mendekati 100% bahkan melebihi target yang telah ditetapkan," jelas dia. Menurutnya, kondisi APBN yang sehat akan berdampak positif terhadap rencana pemulihan ekonomi paska pandemi dan supply risk Surat Berharga Negara (SBN) hingga akhir tahun. Mengingat, lima besar komoditas penyumbang trade surplus Indonesia, masih didominasi batubara sebesar 13,91% disusul base metal product sebesar 13,68%, minyak sawit 11,28%, produk manufaktur sebesar 7,51% dan tekstil dan produk tekstil sebesar 6,41%. Bahana TCW memprediksikan tren kenaikan harga komoditas tersebut dapat bertahan setidaknya hingga akhir tahun. Jika demikian, hal ini akan berdampak positif terhadap APBN Indonesia. Namun demikian, ada beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian terutama bagaimana respon regulator terkait tingkat inflasi yang berpotensi naik sebagai dampak dari supply shock di sektor energi, tenaga kerja maupun bahan baku, atau bahkan dari sisi logistik yang sedang melanda dunia saat ini.
“Kondisi perekonomian China ke depan juga patut menjadi perhatian kita bersama, mengingat eksposur impor bahan baku kita dari China yang tinggi dibanding negara-negara Eropa," terangnya. Jika harga energi melonjak tinggi akan berdampak pada impor bahan baku dari China yang didominasi oleh produk manufaktur, barang-barang elektronik, besi dan baja untuk infrastruktur dan lainnya. Namun, hingga akhir tahun 2021, ia memperkirakan tingkat inflasi Indonesia akan rendah karena dampak dari kenaikan harga energi dunia masih ditahan oleh subsidi energi baik bahan bakar minyak dan listrik oleh pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi