KONTAN.CO.ID - Emiten tambang nikel bakal terus memantau pergerakan harga komoditas global. Kurniawan Sudjatmiko, analis Ciptadana Sekuritas meyakini, bila harga nikel dapat dijaga stabil di atas kisaran US$ 9.500-US$ 10.000 per ton, maka emiten dalam sektor ini bakal terus menaik. Kurniawan menjelaskan, prospek emiten nikel secara umum di kuartal III-2017 cukup baik, karena harga nikel secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Dengan demikian, baik pendapatan maupun laba bersih emiten nikel akan tumbuh signifikan. Sebagai informasi, harga nikel kontrak tiga bulan di London Metal Exchange sempat menyentuh level tertinggi di US$ 12.250 per metrik ton pada awal September ini alias level tertinggi sejak Juni 2015.
Ia menjagokan emiten PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) karena memiliki diversifikasi emas dan rencana proyek feronikel yang bakal membantu kinerja emiten. "Emiten nikel yang bagus untuk dipantau saat ini mungkin ANTM, karena selain menjual nikel, ANTM juga menjual emas," kata Kurniawan saat dihubungi KONTAN, Jumat (22/9). ANTM masih membukukan kerugian bersih semester pertama sebesar Rp 491,6 miliar dari periode yang sama tahun lalu Rp 4,5 miliar. Tapi, Kurniawan optimistis kinerja ANTM akan membaik. Apalagi produksi feronikel ANTM naik 12,3%
year on year menjadi 9.327 Tni, sedangkan produksi emas landai di 1.013 kg atawa turun 0,3% yoy. Namun demikian, kinerja volume penjualan malah menunjukkan sebaliknya. Volume penjualan feronikel turun 18% yoy dan emas turun 38,8% yoy. Dalam riset yang ia rilis pada Rabu (13/9), Kurniawan melihat ANTM nampaknya sengaja menahan penjualan feronikel akibat harga komoditas ini sempat jatuh tajam pada semester pertama 2017. Sedangkan kinerja emas jatuh akibat kerusakan pada salah satu kilang pemurnian ANTM di Pulogadung. Kurniawan mencatat, pada kinerja delapan bulan terakhir hingga Agusuts, volume penjualan ANTM untuk feronikel telah mencapai kisaran 11.400 TNi. Pada semester pertama, jumlah volume penjualan feronikel ANTM di 6.634 TNi. Bila fokus pada komoditas nikel, ANTM dapat membukukan kinerja kinclong, apalagi sejak April 2017 lalu, pemerintah telah memberikan izin ekspor mineral nickel ore pada ANTM. Pada semester pertama 2017, emiten ini hanya memproduksi 0,61 juta Wet Metric Ton (WMT) dan menjual 0,28 juta WMT
low grade nikel alias 10,3% dari yang diizinkan pemerintah untuk volume kebutuhan ekspor. Total pada tahun 2017, emiten ini memiliki 2,72 juta WMT
low grade nikel. Dengan izin ekspor tersebut, ANTM tengah mempertimbangkan kenaikan ekspor hingga 1,2 juta ton
low grade nickel ore. Apalagi emiten ini juga sedang mempersiapkan proyek feronikel di Halmahera, Maluku Utara. Melalui pabarik feronikel Haltim (P3FH) dan kebijakan ekspor, Kurniawan memproyeksikan ANTM berpotensi bakal membukukan pendapatan terpisah sebesar Rp 1,82 triliun dari ekspor
nikel ore di 2017. Kurniawan memprediksi, ANTM dapat membukukan pendapatan tahun ini hingga Rp 7,32 triliun dan dapat berlanjut hingga Rp 9,36 triliun pada tahun depan. Sedangkan laba bersih tahun ini dapat mencapai Rp 269 miliar dan Rp 506 miliar pada 2018. Sedangkan untuk PT Vale Indonesia (INCO), Kurniawan melihat emiten ini bakal lebih baik. "Prospek INCO di kuartal III-2017 seharusnya lebih baik, dan sangat mungkin terjadi penurunan kerugian di kuartal tersebut," jelasnya. INCO melaporkan kerugian bersih USD$ 23 juta pada kuartal II-2017, angka ini melebar dari kuartal sebelumnya di US$ 8 juta. Penyebabnya adalah
cost of goods sold (COGS) yang naik 11,7% menjadi US$ 163 juta. Biaya operasional emiten ini naik 60,4% dibanding kuartal sebelumnya. Untungnya, emiten masih mencatat kenaikan laba bersih pada paruh pertama 2017 menjadi US$ 32 juta, naik dari US$ 26 juta dari kinerja periode sama tahun lalu.
INCO memproduksi 20.107 metrik ton nikel pada kuartal II-2017 alias naik 16,7% dari kuartal sebelumnya. Kenaikan produksi ini disebabkan oleh pulihnya
smelter nikel yang sempat tutup sementara waktu pada kuartal pertama 2017. Pemulihan ini mendorong volume penjualan sales naik 12% secara kuartalan menjadi 19.620 metrik ton. Total produksi pada semester I 2017 mencapai 37.331 metrik ton, naik tipis dari tahun lalu di 36.256 metrik ton. Kurniawan memproyeksikan, INCO dapat mempertahankan level produksi karena tidak ada aktivitas perbaikan. Kurniawan memberikan ANTM rekomendasi
buy dengan target harga di Rp 870 per saham. Sedangkan untuk INCO rekomendasi
hold dan target harga di Rp 2.170. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati