Harga Komoditas Tembaga Capai Level Tertinggi, Cermati Prospeknya ke Depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komoditas tembaga mencetak harga tertingginya atau all time high (ATH) di level US$ 5,13 per pon sejak 2022. Meningkatnya ekspektasi permintaan dan persoalan suplai menjadi pendorongnya kenaikan harga tembaga.

Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong, mengatakan, kenaikan harga tembaga didorong kekhawatiran supply constraint (kendala pasokan)masa depan. Selain itu, sebagai antisipasi harga yang semakin naik ke depannya.

"Mengingat potensi permintaan yang besar dari China seiring stimulus pemerintah China untuk infrastruktur," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (15/5).


Baca Juga: Kinerja Merdeka Copper (MDKA) Diprediksi Naik Imbas Kenaikan Produksi Tembaga

Maklum, aplikasi tembaga sangat luas untuk elektronik, jaringan listrik, hingga produk-produk energi terbarukan semakin meningkatkan permintaan. Selain itu, biaya yang tinggi menyebabkan investasi penambangan tembaga menjadi sulit.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, melanjutkan, China terus mengimpor lebih banyak bijih tembaga, meskipun ada kenaikan harga yang tajam, sehingga mendukung permintaan dan meningkatkan ekspektasi terhadap pertumbuhan industri di negara tersebut. 

Ia menyebutkan, perekonomian China yang membaik, menyumbang sekitar 50% permintaan tembaga global. 

Baca Juga: Sempat Terkoreksi, Harga Perak Dinilai Masih Bullish

Sementara itu, terbatasnya prospek perluasan tambang secara signifikan menimbulkan permasalahan suplai. Tingginya biaya membuat para penambang besar enggan merambah ke proyek-proyek baru.

Alih-alih, para penambang melakukan aksi penggabungan dan pengambilalihan (M&A) untuk proyek baru. Ini ditandai oleh upaya kedua BHP untuk mengakuisisi Anglo American. 

"Kegiatan konsolidasi ini menyoroti tantangan dan terbatasnya peluang peningkatan kapasitas yang signifikan dalam waktu dekat," paparnya.

Baca Juga: Harga Tembaga Naik di Tengah Pelemahan Dolar AS Menjelang Laporan Inflasi AS

Hanya saja, dengan mencapai rekor Harga, Sutopo memperkirakan harganya berpotensi koreksi. Sehingga, dengan pandangan koreksinya, memperkirakan harganya di US$ 4,6 per pon di semester I dan US$ 4,84 per pon di akhir tahun.

Sementara Lukman optimistis harganya masih berpotensi naik akibat persoalan suplai. Pada semester I diperkirakan mencapai US$ 5,5 per pon dan di akhir tahun sebesar US$ 6,5 per pon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli