Harga Listrik PLTU yang Gunakan CCS Bisa Mahal, Pemerintah Masih Kaji Opsi Terbaik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana mengandalkan teknologi penangkapan karbon atau carbon capture storage (CCS) untuk menjaga pasokan listrik dari pembangkit batubara untuk waktu yang lama. Melalui CCS, diharapkan emisi karbon dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bisa ditekan semaksimal mungkin. 

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha mengatakan, strategi besar dari skenario transisi energi bukan menghilangkan dini energi fosil. Sebab Indonesia berbeda dengan negara-negara di Eropa yang tidak bersumber pada ekonomi fosil. 

Sedangkan, lanjut Satya, Indonesia bersumber pada ekonomi fosil. Maka itu keamanan pasokan energi dan diversifikasi sumber listrik dapat didukung dari transisi energi fosil menggunakan teknologi bersih. 


“Kalau masih ada pemanfaatan energi fosil, sifatnya mengantar transisi sampai dengan renewable energy, maka kita harus siapkan fosil menggunakan teknologi bersih, maka muncullah CCS/CCUS,” ujarnya dalam konferensi pers acara Energy Transitions Conference & Exhibition dan Anugerah DEN 2023, Rabu (18/10).  

Baca Juga: Cadangan Penyangga Energi Seharusnya Sudah Ada Sejak 19 Tahun Lalu

Sambil menunggu kesiapan mengatasi intermitensi pembangkit energi terbarukan, pemerintah akan mengandalkan teknologi penangkapan karbon untuk menjaga pasokan energi dari PLTU tetap berjalan. 

Dia memberikan gambaran, intermitensi dari energi surya akan tergantung pada baterai PLTS sehingga akan dilihat apakah teknologinya sudah matang secara komersial dan bisa berkompetisi dengan fosil. 

Melihat kekurangan ini, dia meminta supaya Indonesia tidak gegabah mengubah seluruh pasokan listriknya ke energi terbarukan. 

“Energi fosil yang dimiliki saat ini kita siapkan sebagai baseload, tetapi energi fosil yang relatif bersih, PLTU harus menggunakan CCS/CCUS,” terangnya. 

Baca Juga: Program Pensiun Dini PLTU Batubara, Pemerintah Buka Opsi Pendanaan dari APBN

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih menyusun strategi dan menghitung besaran dampak pemanfaatan CCS terhadap biaya listrik PLTU. 

Direktur Jenderal Ketanagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P Hutajulu menyampaikan, pemanfaatan penangkapan karbon di PLTU harus dihitung dengan cermat. 

“Nanti kan (dampaknya) ke Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tarif seperti apa. Jangan nati kamu bayar listrik mahal,” ujarnya ditemui di Kementerian ESDM Senin (16/10). 

Selain memanfaatkan CCS, Jisman menyatakan, pihaknya juga mengkaji lebih jauh pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di PLTU seperti biomassa. “Kita akan lihat mana yang terbaik,” tegasnya. 

Baca Juga: Ketahanan Energi Indonesia Terancam oleh Memanasnya Geopolitik Dunia

Menurut Jisman, saat ini pemensiunan dini PLTU tidak bisa serta-merta diandalkan untuk berperang pada penurunan emisi. Dia bilang, program suntik mati pembangkit batubara juga masih ditengarai lebih jauh perannya di dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) baru. 

Senada, Anggota DEN, Herman Darnel Ibrahim menjelaskan, pemensiunan dini PLTU harus diperhitungkan matang karena yang diprioritaskan pemerintah ialah ketahanan energi. Pihaknya pun sudah coba berunding dengan PT PLN mengenai persoalan ini. 

Herman mengakui, PLN sendiri tidak tahu harus menggunakan energi terbarukan seperti apa yang cocok dan sepadan untuk PLTU yang dipensiunkan dini di Jawa. 

Baca Juga: Bappenas: Investasi Dekarbonisasi Butuh Rp 749,6 Triliun Per Tahun dari 2025-2045

“Sedangkan kita memerlukan listrik yang terus-menerus, kelebihan batubara memang bisa disimpan dan dipastikan kontinuitasnya.  CCS itu lebih mahalnya sekarang, sedangkan implementasinya di dalam perkiraan kita sekitar 2040 baru mulai. Jadi tunggu harga itu. Jangan takut mahal,” tegasnya. 

Dia mengingatkan, jangan sampai pemensiunan dini PLTU hanya semangat di awal, tetapi tahu-tahu di akhir terjadi krisis pasokan listrik di dalam negeri. 

Sebelumnya, EVP Aneka Energi Baru Terbarukan (EVP MEB) PT PLN, Cita Dewi menjelaskan, perihal penerapan CCS karena teknologinya masih sangat baru, saat ini PLN masih melakukan tahap studi dengan perguruan tinggi dan pengembang (developer) untuk wacana pilot project CCS di 2030 mendatang. 

“CCS adalah salah satu opsi yang diambil PLN dalam rangka dekarbonisasi terlepas dari program lainnya seperti pengembangan EBT dan co-firing,” jelasnya dalam webinar, Jumat (24/3). 

Meski co-firing tidak sebersih pembangkit energi terbarukan lainnya, ada sejumlah pertimbangan yang dimiliki PLN menerapkan teknologi ini. Cita menjelaskan, penurunan emisi juga harus melihat kondisi existing PLN saat ini yang sudah memberikan dampak komersial pada Perusahaan. Misalnya saja, PLN telah melakukan kontrak jangka panjang dengan investor-investor baik itu untuk pembangkit fosil maupun EBT. 

Baca Juga: IESR Tekankan Pentingnya Sokongan Pendanaan China untuk Transisi Energi Indonesia

Institute for Essential Services Reform (IESR) pernah menghitung, penggunaan CCS pada PLTU untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) akan meningkatkan biaya pembangkit rata-rata atau levelized cost of electricity (LCOE). 

Sebagai informasi, LCOE adalah parameter penting pada industri utilitas untuk mengetahui besarnya biaya listrik yang dihasilkan oleh sebuah pembangkit. Nilai LCOE yang relatif rendah menunjukkan listrik atau energi yang dihasilkan dari pembangkit tersebut biayanya lebih rendah sehingga dapat memberikan keuntungan besar bagi investor. 

Manager Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo menyatakan inisiatif untuk menggunakan CCS pada PLTU batubara seharusnya tidak menjadi pilihan lagi karena dua alasan. Pertama, belum ada implementasi CCS ke PLTU batubara yang sukses mencapai target pengurangan emisinya. Kedua, LCOE dari PLTU batubara dengan CCS akan meningkat sampai setidaknya dua kali lipat atau lebih besar dari US$ 0,10 per kWh.

“Ini setara dengan memberlakukan carbon tax sekitar US$ 50 per ton CO2e ke seluruh emisi PLTU batubara. Semua energi terbarukan sudah jauh lebih kompetitif dan terbukti (proven) untuk menghasilkan listrik tanpa emisi GRK,” kata Deon. 

Baca Juga: Proyek Transmisi Jawa-Sumatra Diprioritaskan Dapat Dana JETP

Sedangkan, menurut analisis IESR harga pembangkit energi terbarukan semakin menurun dan kompetitif. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berskala menengah memiliki biaya LCOE yang paling rendah yakni sebesar US$ 0,041 per kWh. Di posisi kedua dan ketiga terendah secara berturut adalah Pembangkit Listrik Mini/Mikro Hidro (PLMTH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) senilai US$ 0,049 per kWh dan US$ 0,058 per kWh. 

Namun penghitungan biaya pembangkitan ini tidak memasukkan biaya penggunaan lahan dan biaya persiapan proyek, sehingga akan ada kemungkinan peningkatan LCOE setidaknya 6% untuk PLTA skala menengah, dan 18% untuk PLTS skala utilitas.

IESR merekomendasikan pemerintah dan perusahaan utilitas seperti PLN untuk mempercepat pengakhiran operasional PLTU batubara, serta memberikan insentif kepada pengembangan energi terbarukan dan teknologi penyimpanan energi, serta secara bertahap menghapuskan ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) batubara di 2025. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati