KONTAN.CO.ID-JAKARTA.
Ketua Indonesian Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Surya Darma mengemukakan, beberapa lapangan panas bumi yang saat ini sudah beroperasi dan berproduksi, belum masuk dalam batas maksimal kapasitas lapangan yang dimiliki. “Saat ini sudah ada 16 lapangan panas bumi yang sudah menghasilkan listrik. Tetapi kapasitas pembangkit yang terpasang pada tiap lapangan, masih jauh dari kapasitas cadangan yang tersedia di sana,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (13/2). Lihat saja PLTP Sarulla baru beroperasi dengan kapasitas terpasang 330 MW, padahal kapasitas cadangannya bisa mencapai 1.000 MW. Berdasarkan perjanjian jual beli listrik (PPA), PLN membeli listrik dari Medco senilai US$ 6,79 sen per kilowatt hour (KWh).
Baca Juga: Harga Jual Listrik Pembangkit Geothermal Diusulkan US$ 12 Cent Per kWh Kemudian PLTP Dieng baru 60 MW berproduksi, padahal kapasitas cadangan yang tersedia lebih dari 400 MW. Dalam catatan Kontan.co.id, harga listrik di Dieng senilai US$ 8,2 sen per KWh. Sebenarnya
Lapangan Dieng diperkirakan memiliki sumber daya yang cukup untuk pengembangan secara bertahap sebanyak 8 unit PLTP. Sebelumnya Geo Dipa Energi (GDE) mulai mempersiapkan pengembangan PLTP Dieng Unit-2 dan Unit-3. Demikian juga lapangan yang baru seperti di Muara Laboh dan Rantau Dedap di mana semuanya masih bisa ditingkatkan kapasitas produksi dan pembangkit yang dibangun. Salah satu biang masalahnya ialah pola perhitungan harga listrik yang dihasilkan panas bumi
belum memenuhi keekonomian pengembangan lapangannya. Akibatnya, tambahan kapasitas PLTP belum dapat dilakukan. “Walaupun tidak semuanya dari 16 lapangan panas bumi yang sudah ada, tetapi kondisi ini memperlihatkan bahwa faktor harga menjadi salah satu unsur penyebab tidak bisa dikembangkannya kapasitas PLTP,” kata Surya. Surya menilai jika harga listrik dari PLTP bisa disesuaikan dengan kondisi keekonomian setiap lapangan panas bumi, pasti pengembangannya akan lebih menarik para investor. Selain harga listrik, Surya juga menyoroti ditambahnya insentif fiskal dan non-fiskal. “Insentif non-fiskal akan membantu kelancaran proyek dan akan sekaligus juga dapat membantu keekonomian dan harga energi. Sedangkan insentif finansial pasti akan mempengaruhi nilai keekonomian proyek,” jelasnya. Seharusnya keduanya harus dilakukan asesmen untuk memperoleh harga terendah tetapi nilai keekonomian proyek juga terpenuhi.
Baca Juga: Usulan Evaluasi Harga Listrik Panas Bumi Makin Menguat Wakil Ketua Komisi VII, Eddy Soeparno menjelaskan, pihaknya akan mempelajari keinginan pelaku usaha PLTP jika masukan itu sudah masuk ke Komisi VII. “Pada prinsipnya kami merasa insentif perlu diberikan tapi jangan sampai memberatkan pemerintah dan membuat keekonomian proyek ini berat sebelah. Dalam artian, proyek lain tidak menerima insentif sebesar PLTP sehingga proyek energi terbarukan lainnya berasa di-anak-tirikan,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Nantinya, Komisi VII akan mendiskusikan masukan pelaku usaha bersama dengan pemerintah dan PT PLN. Dibukanya peluang diskusi ini karena Komisi VII juga berharap panas bumi bisa dikembangkan masif karena potensinya yang besar. “Lantaran investasi cukup tinggi dibandingkan proyek lain, Eddy menilai sektor ini membutuhkan perhatian dan perlakuan khusus,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .