KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga logam industri kompak memperlihatkan penurunan pada awal tahun 2024 ini. Berdasarkan data
tradingeconomics.com, harga timah berada di level US$ 25.233 per ton atau turun 0,28% secara
year to date (YTD) dan merosot 13,29%
year on year (YoY) per Rabu (17/1). Lalu, harga nikel berada di US$ 15.918 per ton, turun 1,77% YTD dan anjlok 45,39% YoY per Kamis (18/1). Selanjutnya, per Jumat (19/1), harga aluminium berada di US$ 2.180,5 per ton (terkoreksi 10,8% YTD dan merosot 16,47% YoY) serta harga tembaga di US$ 3.777,8 per ton (turun 3, 57% YtD dan merosot 11,13% YOY).
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, harga timah berjangka sudah
rebound dari level terendah dalam satu bulan di US$ 24.430 yang dicapai pada 10 Januari 2024. Harga timah terangkat oleh ketidakpastian pasokan dari produsen utama Myanmar. Para pemimpin Negara Bagian Wa di Myanmar mengizinkan dimulainya kembali sebagian aktivitas penambangan di wilayah tersebut, menyusul larangan yang disahkan pada Agustus 2023. Meskipun penambangan timah tidak dimasukkan dalam keputusan pembukaan kembali tersebut, langkah-langkah menuju normalisasi mendorong pasar untuk mengharapkan penambangan timah dilanjutkan setelah Tahun Baru Imlek. Baca Juga:
Harga Tembaga Mendekati Level Terendah 6 Minggu pada Kamis (18/1) Wilayah ini menyumbang 70% produksi dari Myanmar, produsen timah terbesar ke-3 di dunia dan pemasok utama bagi konsumen utama China. Selama periode tidak ada produksi timah di Negara Bagian Wa, China terpaksa mencari pasokan timah dari sumber alternatif, sehingga mendorong impor dari Republik Demokratik Kongo melonjak sebesar 24% pada tiga kuartal pertama tahun lalu dan meningkatkan persaingan pembelian di negara-negara lain. Kemudian, nikel berjangka turun di bawah US$ 16.000 per ton, mendekati level terendah dalam tiga tahun terakhir yang tercatat pada 4 Januari 2024. Penurunan ini seiring dengan memburuknya prospek logam tersebut setelah investor mengurangi spekulasi penurunan suku bunga oleh bank-bank besar. Komoditas ini juga terkena dampak kenaikan persediaan nikel di London Metal Exchange (LME) menjadi sekitar 69.000 ton pada pertengahan Januari dan lemahnya pemulihan konsumen utama China. "Selain itu, kuatnya pasokan dari produsen terkemuka dunia, yaitu Indonesia, Filipina, dan China mendukung tren penurunan ini," ungkap Sutopo saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (19/1). Menurut perkiraan Kelompok Studi Nikel Internasional, pasokan logam tersebut melampaui permintaan sebesar 223.000 metrik ton pada tahun 2023. Kesenjangan tersebut diperkirakan akan melebar menjadi 239.000 metrik ton pada tahun 2024. Selanjutnya, aluminium berjangka turun tajam dari level tertinggi delapan bulan di US$ 2.387 yang dicapai pada tanggal 27 Desember 2023 di tengah ekspektasi akan melimpahnya pasokan untuk bahan input utama. Ledakan di depot bahan bakar di Guinea menghentikan aktivitas industri dan memicu lonjakan harga aluminium pada akhir tahun.
Baca Juga: Kemenperin: Ekspor Industri Manufaktur Tembus US$ 187 Miliar Selama Tahun 2023 Guinea merupakan eksportir bauksit terbesar ketiga di dunia yang mana bauksit dikenal sebagai bahan baku utama produksi aluminium. Namun, harga-harga tersebut telah melemah pada pergantian tahun karena laporan investasi UEA tentang infrastruktur bauksit Guinea menenangkan kekhawatiran pasar atas krisis pasokan. Sementara itu, permintaan terus didukung oleh serangkaian langkah stimulus ekonomi dari pemerintah China yang akan mendukung aktivitas manufaktur di konsumen aluminium terbesar dunia. Berdasarkan langkah-langkah terbaru, People's Bank of China (PBoC) memberikan CNY 350 miliar kepada bank-bank pemerintah, termasuk China Construction Bank, sebelum bank-bank tersebut memberi isyarat bahwa mereka akan memangkas persyaratan cadangan. Kemudian, harga tembaga turun ke level terendah dalam enam minggu di tengah penguatan dolar yang berkelanjutan dan permintaan yang lesu. Para pengambil kebijakan Federal Reserve menolak ekspektasi pasar akan penurunan suku bunga berulang kali pada tahun ini seiring karena The Fed masih ingin menekan inflasi. Kondisi ini mengangkat dolar AS yang digunakan untuk menentukan harga acuan tembaga dan menekan daya beli para importir. "Sementara itu, angka pertumbuhan China yang lebih lambat dari perkiraan memperburuk keragu-raguan negara tersebut untuk memberikan langkah-langkah stimulus lebih lanjut," ucap Sutopo.
Hal ini tercermin dari PBoC yang secara tak terduga menahan suku bunga fasilitas jangka menengahnya. Secara konsisten, stok tembaga di gudang-gudang besar China telah meningkat hampir 40% sejak awal tahun ini, sejalan dengan anjloknya premi tembaga Yangshan karena produsen menunjukkan keragu-raguan dalam mengajukan penawaran dalam jumlah besar. Sutopo memprediksi, timah akan diperdagangkan di US$ 26.060,54 per ton pada akhir kuartal ini dan rata-rata US$ 28.096,28 per ton sepanjang tahun 2024. Lalu, nikel kemungkinan akan diperdagangkan pada US$ 15.900,13 per ton pada akhir kuartal ini dan US$ 14.555,74 dalam waktu 12 bulan. Kemudian, harga aluminium akan diperdagangkan di US$ 2.426,1 per ton pada akhir kuartal ini dan US$ 2.549,02 sepanjang tahun 2024. Selanjutnya, tembaga kemungkinan diperdagangkan di US$ 3.930 per ton pada akhir kuartal ini dan rata-rata US$ 4.140 per ton sepanjang 2024. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari