Harga logam industri terancam perang dagang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hiruk-pikuk perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China memukul harga sejumlah komoditas logam industri pada kuartal I-2018 ini. Yang terkena dampak paling signifikan adalah aluminium.

Harga aluminium anjlok 11,62% selama tiga bulan pertama tahun ini. Pada 29 Maret lalu, harga aluminium kontrak tiga bulanan di London Metal Exchange (LME) berada di US$ 2.004,5 per metrik ton.

Penurunan harga juga terjadi pada tembaga. Di periode yang sama, harga tembaga turun 7,35% menjadi US$ 6.714 per metrik ton.


Namun kondisi berbeda dialami nikel dan timah. Harga kedua komoditas ini justru cenderung menguat, berkat adanya kenaikan permintaan, seiring terjadinya defisit pada produksi.

Di periode Januari-Maret 2018, harga timah kontrak tiga bulanan di LME berhasil menguat 5,37% jadi US$ 21.100 per metrik ton. Sedangkan harga nikel di akhir kuartal satu lalu mencapai US$ 13.300 per metrik ton, naik 4,23% dibanding akhir 2017 lalu.

Bagaimana prospek pergerakan harga komoditas logam industri ini? Berikut ulasan para analis terhadap prospek komoditas ini.

Aluminium

Di awal tahun, aluminium masih berada dalam tren bullish. Tetapi, seiring adanya sentimen kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve, harga aluminium mulai bergerak fluktuatif cenderung melemah.

Tekanan terkuat datang setelah Presiden AS Donald Trump menyerukan rencana pengenaan tarif impor pada aluminium dan baja asal China. Di saat yang sama, di Negeri Tirai Bambu sedang terjadi banjir produksi aluminium. Hal ini membuat harga komoditas ini makin tertekan.

Direktur Garuda Berjangka Ibrahim memprediksi, pada kuartal dua ini harga aluminium masih dalam tren bearish. Hal ini seiring dengan memanasnya perang dagang antara China dan AS. Apalagi, China juga menetapkan tarif bea masuk 25% untuk sejumlah produk asal AS.

Meskibegitu, Ibrahim yakin jika perang dagang berakhir, harga aluminium dapat kembali menguat. Apalagi, saat ini harganya sudah anjlok cukup dalam. Selain itu, membaiknya data-data ekonomi China bisa menjadi sentimen positif bagi komoditas ini dalam jangka panjang.

Ibrahim memprediksi harga aluminium akan bergerak di kisaran US$ 2.000–US$ 2.200 per metrik ton pada kuartal kedua tahun ini.

Tembaga

Serupa dengan aluminium, tembaga pun terkena dampak dari perang dagang antara AS dengan China. Harga tembaga merosot lantaran perang dagang juga merugikan negara-negara berkembang yang memproduksi komoditas tersebut.

Padahal, harga tembaga sempat menguat signifikan hingga awal tahun ini. Managing Partner & Global Strategist Victorem Capital Eric Sardain, dalam pertemuan Mining Investment Asia di Singapura akhir Maret lalu, mengatakan harga tembaga menguat akibat defisit yang mencapai 167.000 ton tahun lalu.

Meski ada tekanan sentimen perang dagang, Sardain menilai prospek harga tembaga masih positif. Alasannya, permintaan dari industri kendaraan elektrik akan meningkat.

Ibrahim juga menilai harga tembaga yang masih di level US$ 6.000 per metrik ton masih wajar. Jika, pemerintah AS telah mendapat persetujuan meningkatkan anggaran infrastruktur dan militer yang ditaksir mencapai US$ 2,8 triliun, harga tembaga bisa kembali naik.

Selain itu, jika data ekspor-impor China menunjukkan hasil yang memuaskan, peluang harga tembaga menguat semakin besar. Data ini penting karena berkaitan dengan posisi China sebagai pemain besar untuk komoditas tersebut, tutur Ibrahim.

Ia memprediksi, harga tembaga akan bergerak di rentang US$ 6.700–US$ 7.300 per metrik ton sepanjang kuartal dua tahun ini.

Timah

Di antara logam industri, timah berhasil mencatatkan penguatan harga paling tinggi. Maklum saja, permintaan atas komoditas ini tergolong masih tinggi, sementara pasokan masih defisit.

Analis Asia Tradepoint Futures Andri Hardianto menjelaskan, permintaan bagi timah menanjak terutama dari industri elektronik, seperti ponsel pintar. Ia memprediksi harga timah akan bergerak antara US$ 19.950–US$ 22.600 per metrik ton di kuartal dua.

Nikel

Hingga saat ini harga nikel masih dipengaruhi defisit pasokan yang jumlahnya mencapai 80.000-90.000 ton di kuartal dua ini. Tambah lagi, permintaan nikel untuk produksi kendaraan listrik juga kian menanjak. Alhasil, harga nikel cenderung bergerak stabil.

Hanya saja, jika perang dagang tak kunjung berakhir, hal ini bisa mengganggu stabilitas harga nikel. Pasalnya, nikel merupakan bahan baku pembuatan baja. Sementara itu, salah satu pemicu terjadinya perang dagang adalah kebijakan tarif impor terhadap produk baja yang diberlakukan oleh AS.

Andri memprediksi harga nikel akan bergerak di kisaran US$ 12.300–USS 15.000 per metrik ton di kuartal dua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati