Harga Logam Industri Tertekan Akibat Prospek Ekonomi China Suram



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga logam industri mengalami tekanan akibat prospek ekonomi China yang masih suram. Sementara itu, ekspektasi terhadap kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve (the Fed) dapat menjadi pendorong positif bagi komoditas logam.

Penurunan harga tembaga di London Metal Exchange (LME) dalam beberapa bulan terakhir mencerminkan dampak dari aktivitas industri yang stagnan di Tiongkok, sebagai konsumen utama logam. Data yang dirilis pada Rabu (7/8) menunjukkan bahwa impor tembaga mentah dan produknya dari Tiongkok turun 2,9% year on year (YoY), menjadi 438.000 ton pada Juli. 

Data tersebut juga mengungkapkan bahwa ekspor keseluruhan Tiongkok tumbuh dengan laju terendah dalam tiga bulan terakhir pada Juli, meleset dari ekspektasi dan menambah kekhawatiran tentang prospek sektor manufaktur negara tersebut. Ekspor tertekan oleh tarif perdagangan baru yang dikenakan oleh Eropa terhadap kendaraan listrik dari China.


Di sisi lain, laporan pekerjaan bulanan di AS yang kurang memuaskan dan serangkaian laporan laba yang mengecewakan dari perusahaan teknologi besar semakin merusak kepercayaan di pasar komoditas dan pasar saham. Namun, peluang pemotongan suku bunga semakin terbuka lebar.

Baca Juga: Prospek Harga Energi Masih Berada Dalam Bayang-Bayang Tekanan

Akibatnya, harga tembaga kontrak tiga bulan di LME mengalami kenaikan tipis sebesar 0,29% secara harian, menjadi US$8.794 per metrik ton pada penutupan Kamis (8/8). Meski demikian, harga tembaga telah turun sekitar 20% sejak mencapai rekor tertinggi di atas US$11.100 per metrik ton pada Mei 2024.

Sementara itu, harga aluminium LME turun 0,61% secara harian menjadi US$2.274 per ton. Harga timah LME naik 1,68% menjadi US$32.794 per ton, sedangkan harga nikel turun 0,94% menjadi US$16.143 per ton.

Analis Komoditas dan Pendiri Traderindo.com, Wahyu Tribowo Laksono, menekankan bahwa tantangan utama yang dihadapi oleh komoditas logam terutama disebabkan oleh kondisi ekonomi global. Perlambatan pemulihan ekonomi China, yang cenderung menekan permintaan, merupakan salah satu ancamannya.

Meskipun demikian, Wahyu memproyeksikan bahwa harga logam dasar akan tetap stabil sepanjang tahun ini, dengan kemungkinan sedikit kenaikan pada tahun 2025. Stimulus tambahan untuk sektor properti Tiongkok dan gangguan pasokan dapat menjadi faktor pendukung kenaikan harga komoditas logam industri.

Wahyu menjelaskan bahwa kendala pasokan diperkirakan akan mendukung harga beberapa logam dasar. Pembatasan perdagangan, seperti larangan terhadap logam asal Rusia di bursa komoditas utama di Amerika Serikat (AS) dan Inggris, berpotensi memperketat pasokan aluminium dan tembaga. 

Pemangkasan produksi dan gangguan pasokan di Amerika Selatan diantisipasi akan memengaruhi pertumbuhan pasokan tembaga global tahun ini. Demikian pula, produsen seng utama diperkirakan akan mengurangi pasokan sebagai respons terhadap pelemahan harga sebelumnya. 

Baca Juga: Kinerja PT Timah (TINS) Diramal Positif pada Tahun 2024, Begini Rekomendasi Sahamnya

Wahyu juga menambahkan bahwa pasokan timah diperkirakan akan menghadapi kendala karena pembatasan ekspor yang diberlakukan oleh Myanmar pada Februari dan penundaan perizinan yang sedang berlangsung di Indonesia. Kedua negara tersebut menyumbang 40% dari produksi timah global.

Sebaliknya, produksi nikel global diproyeksikan meningkat pada tahun 2024, setelah naik 11% YoY pada tahun 2023. Peningkatan produksi nikel yang berkelanjutan, terutama dari Indonesia, didorong oleh lonjakan investasi peleburan serta dukungan dari insentif pemerintah dan larangan ekspor bijih nikel.

Secara keseluruhan, Wahyu melihat bahwa sentimen terhadap harga komoditas logam industri masih cukup berimbang antara positif dan negatif. Potensi stimulus dari China dapat meningkatkan permintaan logam, ditambah harapan akan pemangkasan suku bunga di AS.

“Walaupun terdapat tantangan ekonomi dari perlambatan ekonomi China, stimulus dari China diharapkan dapat mendukung permintaan. Tantangan dari penguatan dolar yang terjadi beberapa bulan terakhir juga masih ada, namun ada harapan pemangkasan suku bunga setidaknya pada akhir tahun ini,” jelas Wahyu kepada Kontan.co.id pada Jumat (9/8).

Pengamat Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong mencatat bahwa harga logam industri baru-baru ini mengalami penurunan tajam akibat kekhawatiran akan resesi di Amerika Serikat (AS).

Sentimen negatif ini diperburuk oleh kabar perlambatan ekonomi di China yang menunjukkan dampak yang lebih besar, terutama terhadap industri kendaraan listrik, yang merupakan salah satu sektor terbesar di dunia. 

Baca Juga: Ekonomi Asia Tenggara Diperkirakan Ungguli China 10 Tahun Mendatang

Lukman menyebutkan bahwa meskipun ada kekhawatiran tentang resesi di AS, dampaknya dianggap kurang signifikan karena kemerosotan ekonomi AS belum pasti. Jika data ekonomi AS yang akan datang menunjukkan kondisi yang lebih buruk, ini dapat memperkuat asumsi resesi dan kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh the Fed.

"Harapan investor adalah agar angka-angka ekonomi tidak terlalu buruk, dan ini dapat mendorong the Fed untuk memangkas suku bunga setidaknya sebesar 75 bps hingga akhir tahun 2024," ujar Lukman saat dihubungi Kontan.co.id pada Jumat (9/8).

Pemotongan suku bunga biasanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan permintaan logam. Selain itu, pelemahan dolar AS akan membuat logam yang dihargai dalam dolar menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.

Terlepas dari faktor resesi dan pemangkasan suku bunga bank sentral AS, Lukman menilai bahwa harga komoditas logam industri saat ini sudah cukup murah dan berpotensi mengalami rebound.

Harga-harga logam industri di akhir tahun ini diperkirakan akan lebih tinggi, dengan aluminium ke level US$2.600 per ton, tembaga ke US$9.600-US$9.800 per ton, timah ke US$33.000-US$34.000 per ton, dan nikel ke US$18.000-US$20.000 per ton.

“Tentu saja, hal ini bergantung pada apakah produsen tidak meningkatkan pasokan secara berlebihan dan menyebabkan oversupply, seperti pada kasus nikel,” tambah Lukman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .