KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan moneter ketat The Fed dan prospek permintaan yang lebih lemah dari China mengikis harga komoditas logam industri. Aluminium, Tembaga, Timah hingga Nikel kompak menunjukkan penurunan harga. Mengutip Tradingeconomics, Jumat (18/8) harga aluminium dalam sepekan telah turun 1.20% ke level harga US$ 2.149 per ton. Harga nikel turun 0.72% ke kisaran harga US$ 20.027 per ton, harga timah anjlok 8.05% ke kisaran harga US$25.066 per ton, sementara harga tembaga telah turun 1.04% ke kisaran harga US$ 3.6625 per pon, dalam sepekan. Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengamati, harga komoditas tertekan akibat kenaikan dolar dan imbal hasil obligasi global.
Harga komoditas tambang juga turun, setelah JPMorgan Chase dan Barclays memangkas estimasi Produk Domestik Bruto (PDB) China 2023, ini mengisyaratkan situasi
bearish untuk permintaan logam industri.
Baca Juga: Ekonomi China Ambruk, Harga Komoditas Logam Industri Kian Terpuruk Imbal hasil pada US Treasury 10-tahun naik melewati angka 4,25%, tertinggi sejak November 2007 karena pasar masih mengkhawatirkan kebijakan moneter ketat yang berkepanjangan. Risalah dari pertemuan terbaru FOMC menunjukkan konsensus luas atas kenaikan suku bunga 25 bps. Imbal hasil juga masih lebih tinggi karena kekhawatiran akan pasokan obligasi yang lebih tinggi, setelah pemerintah menaikkan jumlah surat utang yang dilelang di awal bulan. Sutopo menjelaskan, penurunan harga timah baru-baru ini karena melemahnya permintaan terutama dari Tiongkok. Harga pun semakin anjlok, setelah adanya penutupan semua tambang serta pabrik pengolahan negara bagian Wa (Myanmar) pada 1 Agustus 2023. Komitmen kuat Pemerintah Negara Bagian Wa untuk menegakkan kebijakan ini telah memperpanjang prediksi pasar, dimana periode penangguhan diperkirakan bakal lebih lama dari semula yaitu 1 hingga 3 bulan. Sementara itu, ekspor Timah Juli melonjak karena pedagang lokal menjual persediaan sebelum pelarangan produksi diberlakukan. Penghentian produksi di Negara Bagian Wa kemungkinan besar akan mengurangi pasokan bahan mentah untuk peleburan China, yang menimbulkan tantangan untuk menyamai tingkat produksi sebelumnya. “Di sisi lain, China sebagai produsen dan konsumen timah terbesar, melaporkan penurunan aktivitas pabrik dan penurunan ekspor yang tajam,” ungkap Sutopo kepada Kontan.co.id, Jumat (18/8). Sutopo melanjutkan, harga tembaga juga dipengaruhi kekhawatiran atas pemulihan ekonomi China. Pinjaman yuan baru naik sebesar CNY 346 miliar di bulan Juli, kurang dari setengah dari ekspektasi pasar yang mengarah ke permintaan kredit terendah sejak 2009. Hal ini memperbesar kekhawatiran ekonomi China, setelah penurunan tajam dalam aktivitas perdagangan dan PMI Manufaktur terkontraksi. Aluminium berjangka turun karena permintaan China yang lebih sedikit dan kebangkitan pasokan. Produksi China melonjak di bulan Juli, didorong oleh peningkatan mencolok di provinsi Yunnan. Namun, permintaan aluminium menghadapi pelemahan tak terduga utamanya karena penurunan sektor properti China. Sementara itu, harga Nikel tertekan di tengah kekhawatiran penurunan permintaan karena prospek ekonomi global yang tidak pasti dan data China yang lemah. Meskipun China sebagai importir utama meluncurkan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian, namun sektor properti negara tersebut tetap terpukul.
Baca Juga: Pembangunan Refinery Masih Mandek, Produksi Bijih Bauksit Tahun Ini Bisa Merosot Tekanan datang juga dari prospek pasokan yang lebih tinggi karena BHP Group mengakuisisi bisnis Mincor Resources di Kambalda dan China, serta Indonesia mulai mengubah bentuk perantara nikel menjadi logam untuk dikirim ke LME.
Di sisi lain, S&P Global menaikkan perkiraannya untuk pembuatan mobil global pada 2023, 2024, dan 2025. Amerika Serikat juga memberlakukan sanksi terhadap salah satu produsen nikel utama Rusia. Sentimen ini mendukung kebutuhan bahan semikonduktor. “Hanya saja, prospek keseluruhan bagi nikel tetap
bearish. Di mana pasar menghadapi surplus permintaan-pasokan terbesar dalam setidaknya satu dekade,” ujar Sutopo. Menurut Sutopo, harga komoditas logam industri ke depan akan sangat tergantung dari pemulihan ekonomi global. Tiongkok masih menjadi sorotan utama karena beberapa kegagalan finansial dan properti yang membebani likuiditas negara tersebut. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi